Senin, 07 Januari 2013

Rasionalisme Pendidikan


PEMBAHASAN
A.  Rasionalisme
Jika dikaji secara mendalam perjalanan rasionalisme mulai Plato sampai Libniz akan terlihat bahwa rasionalisme jatuh kepada Dogmatisme rasional[1] serta serial imajinasi, dan semangat pengetahuannya belum praksis emansipatoris[2]. Para tokoh rasionalisme tidak hanya terjebak kepada pilihan paradigmanya akan rasio murni tetapi lebih dari itu mereka bagaikan segerombolan orang yang mengadakan gerakan ajaran kebenaran rasio (dogmatisme rasional) dengan tidak membuka peluang kritik terhadap pandangan lain misalnya rasio praksis (empirisme), tetapi sebaliknya mereka mempertentangkannya.
Walaupun satu sisi rasionalisme membawa semangat kebebasan individu yang kemudian diharapkan munculnya kreativitas tetapi disisi lain dari sinilah munculnya paham sekularisme[3]. Paham ini kemudian banyak memberikan dampak terhadap kewacanaan dan penyelenggaran pendidikan yang disandingkan dengan agama dan kepercayaan umat manusia termasuk kaum muslim di Indonesia[4]
B.Dampaknya terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam
Rasionalisme sudah sama-sama menjadi landasan perfikir para penyelenggaran pendidikan di negeri ini, semangat keduanya terlihat dari pelaksanaan pembelajaran yang banyak menitikberatkan pada kemampuan logika semata dan sedikit banyak mengenyampingkan potensi, talenta, motivasi, kemauan, kemampuan pesertadidik yang lainnya. Semangat pendidikan semacam itu merupakan turunan dari cara berfikir berbasis rasionalisme.

Misalnya, dalam hal ini adalah kebijakan tentang UN, apakah persoalan hidup yang mereka hadapi hanya mampu dipecahkan dengan berbekal kemahiran mereka dalam menjawab soal-soal normatif diatas kertas. Pesertadidik pada akhirnya miskin pengalaman atau belum banyak teruji di lapangan dan cendrung normatif serta tidak kreatif menghadapi persoalan hidup dan menyelesaikannya. Pesertadidik kemudian berkembang tidak dengan seluruh potensi yang mereka miliki tetapi hanya berbekal logika tersebut, sebuah perkembangan yang timpang dan tidak utuh, hal ini tentu saja dilarang agama Islam yang melarang cara-cara seperti ini karena terlalu menyederhanakan ciptaanNYA yang mulia dan penuh potensi yang bernama manusia.

Adapun ekpresinya dapat kita temukan dari cara-cara pendidik untuk membuat pesertadidik belajar dengan menciptakan suasana atau lingkungan dan mendisiplinkan pikiran dan aktivitas mereka yang kecendrungannya memaksa mereka untuk kemudian mengikuti selera dan warna lingkungan yang telah tercipta sebelumnya. Sebuah cara berfikir yang tidak lagi sensitiv bahkan masabodoh terhadap potensi pesertadidik, mesin sudah dibuatkan tinggal memasukkan dan mencetak bahan-bahan yang akan diproses melalui mekanisme dan proses-proses yang telah dibuat sebelumnya.

Pada taraf inilah kemudian kecendrungan pendidikan adalah mencetak siswa sesuai kemauan, persepsi, pengetahuan, selera, anggapan, asumsi kita sebagai orangtua dan kita sebagai para ahli pendidikan. Keadaan ini diperparah dengan cara pandang instrumental (implikasi industrialisasi) yang beranggapan bahwa pendidikan itu laksana mengumpulkan pasukan perang untuk mencapai tujuan tertentu, pesertadidik pada akhirnya dididik hanya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan tertentu saja. Pendidikan sudah bergesar dari tujuan semula yaitu proses untuk membantu pesertadidik untuk menemukan dan mengasah potensi dan jatidirinya sendiri.

Pengaruh lainnya adalah sistem kontrol dan evaluasi yang jamak digunakan oleh para guru terhadap pesertadidik adalah metode induksi, yaitu penilaian aktivitas (dengan berkesimpulan) dan memberlakukannya secara universal terhadap seluruh siswa dengan hanya melihat kebiasaan mereka secara umum tanpa memperhatikan secara lebih dan inten keragaman karakter mereka.

Dalam hal kurikulum, mayoritas pola rancangan dan pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam akan banyak memakai cara-cara yang berkesadaran Eropasentris, taruhlah dalam hal ini
1.    Pola kurikulum yang menekankan pada isi
2.    Pola kurikulum yang menekankan pada proses
3.    Pola kurikulum yang menekankan perpaduan pada isi dan proses serta pengalaman belajar sekaligus.[5]

1.    Pola pertama

Menekankan terhadap isi dan memandang manusia sebagai subyek mati dan harus diisi dengan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang sudah mapan, pada akhirnya fungsi kurikulum sebagai alat untuk mentransfer dan mewariskan sistem nilai dan ilmu pengetahuan yang sudah baku. Peserta didik sudah dianggap cukup menjalani hidupnya hanya dengan seperangkat pengetahuan tertentu, peserta didik pada akhirnya memiliki kemampuan yang parsial dan terdistorsi, output pendidikan seperti ini akan merasa asing dengan perkembangan dan gagap menghadapi perubahan sebagai akibat dari pendekatan instrumental dalam merancang kurikulum . Pandangan ini tak ubahnya semangat rasionalisme Descartes dengan subyek universalnya yang merasa jauh dari aktivitas keseharian dan problem kehidupan, kesadaran subyek universal kemudian menjaga jarak dan terasing menyendiri ditengah tantangan hari ini dan masa depannya. Subyek universal sudah merasa cukup dan puas dengan pengetahuan murninya/innate. Dilain pihak pengaruh positivisme juga begiru tampak dalam pendekatan instrumental, taruhlah dalam hal ini standarisasi pengetahuan, kompotensi yang harus dimilki peserta didik. Penyeragaman dan fixsasi pemikiran, kemampuan dan aktivitas tidak dapat dihindari. Semua hal dalam kurikulum ini akan terukur dan terstandarisasi dalam sebuah kepastian angka-angka.

2.    Pola kedua

Menekankan terhadap anggapan bahwa peserta didik sejak lahir sudah memiliki potensi-potensi. Kurikulum pada akhirnya dirancang dan diarahkan untuk menyediakan dan menciptakan lingkungan/situasi yang mendukung dan menunjang adanya potensi yang sudah ada. Anggapan adanya potensi dasar/pengetahuan dasar dan murni pada diri manusia pada mulanya merupakan dasar-dasar dari rasionalisme. Dalam rasionalisme- pengetahuan, ide, dan kebenaran akan lahir dengan mencocokkan Innate/apriori (pengetahuan bawaan/ murni) dengan objek yang ada di luar innate. Kurikulum ini menjadikan peserta didik sebagai subjek pendidikan karena kurikulum dirancang dengan melihat potensi dan kemampuan peserta didik. Ajaran tentang subjek yang menjadi sentral merupakan ajaran rasionalisme: “Aku sangsi adalah substansi yang tidak dapat disangsikan merupakan pengendali sejarah (Embrio Modern)”. Ajaran tentang obyek di luar innate menemukan kesempurnaannya pada saat empirisme memberikan dasar-dasar teoritiknya, sesuatu yang empirik dan faktual di lapangan menjadi hal yang menentukan dan membantu akan kesimpulan-kesimpulan sebuah pengetahuan. Empirisme berpandangan bahwa semua ide gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, biasanya berlawanan dengan rasionalsme. Hobes menyatakan bahwa kenyataan terakhir adalah kenyataan indrawi (material yang dialami) sehingga yang menjadi asas adalah materi dan gerak, sehingga harus didasarkan pada observasi. Pola merancang dan mengembangkan kurikulum semacam ini merupakan perbaduan apik antara semangat rasionalisme (subjek peserta didik sebagai titik berangkat) dan empirisme (objek sebagai titik berangkat dengan menciptakan situasi dan lingkungan yang mendukung potensi-potensi subjek).




3.    Pola ketiga

Menekankan perpaduan pada isi dan proses serta pengalaman belajar sekaligus. Pihak ini berasumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lainnya, berinteraksi dan bekerja sama. Isi pendidikan terdiri dari problem-problem aktual yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat. Karena itu dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat sebagai isi pendidikan, sedangkan proses atau pengalaman belajar peserta didik adalah dengan cara memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan koloboratif, berupaya mencari pemecahan terhadap problem tersebut menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Pada bagian ini emberio mengarahkan pendidikan untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan manusia sudah bisa dilihat. Semangat semacam ini pada mulanya adalah semangat positivisme yang beranggapan bahwa pengetahuan sebelumnya masih terlau melangit dan ideal karena pengetahuan itu seharusnya membumi, ajaran seperti ini kemudian mendapatkan titik terang pada awal madzhab kritis muncul meskipun kelompok ini jatuh pada hal yang utopis karena belum tersedianya dasar-dasar teoritik yang memadai. Positivisme yang jatuh pada instrumentalisme dan ideologis kemudian madzhab kritis pada hal yang utopis[6] telah menjadi semangat dalam merancang kurikulum pendidikan semacam ini. Pada bagian memerankan teknologi dalam membuat kegiatan-kegiatan agar peserta didik mempunyai pengalaman merupakan akibat dari saintisme yang merupakan turunan dari positivisme.

Kurikulum pendidikan agama Islam belum mumpuni dalam analisis kritis dalam melihat fakta terselubung diruang sosial sehingga berakibat pada tidak berdampaknya pendidikan Islam terhadap perubahan yang lebih baik, berkeadilan dan perlindungan akan hak-hak orang kecil (mustadhifin) di masyarakat, malahan disisi lain pendidikan Islam masih menjadi penjaga moral murni orang lain yang terlalu kaku sehingga mengakibatkan konflik horizontal yang tidak berkesudahan. Di sisi lain epistimologi pengembangan kurikulum masih bersifat vertikal, keadaan ini berakibat kepada terlalunya bermetafisika yang pada akhirnya membuat adanya dominasi suatu katalis yang di posisikan sebagai subyek dan yang lain obyek.
Secara umum dan dalam banyak kacamata para akedemis penyelengaraan pendidikan agama Islam yang tergambar dalam rancangan kurikulum lebih banyak menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang komplek.Pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan nonagama. Pendidikan agama tidak boleh berjalan sendiri tetapi harus berjalan bersama dengan program-program pendidikan nonagama kalau ia ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial.

Aktivitas keilmuan pendidikan agama Islam di tanah air hanya terfokus dan terbatas pada kalam, falsafah, hadits, tarikh, fiqih, tafsir, lughah dan sebagainya. Lembaga pendidikan Agama Islam belum mampu memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer dan mengawinkan dan mempertautkan dengan ilmu-ilmu keIslaman semisal antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat dan sebagainya. Akibatnya terjadi kesenjangan antara ilmu-ilmu keIslaman klasik dan keIslaman baru yang memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer.
Kondisi diatas dipersulit dengan penyajian materi pendidikan agama Islam yang terlalu kaku semisal teologi yang kecendrungan pada paham fatalistik, akhlak/moral yang kecendrungan berorientasi hanya pada sopan santun tidak kepada katalis yang mampu memberikan dorongan perubahan kepada kemajuan, ibadah yang hanya diajarkan sebagai ajaran formal ritual yang tidak dibarengi oleh pemahaman dan penjelasan yang bersifat intelektualtual sehingga berkecendrungan menjadi doktrin dan ajaran yang kaku dan asing bagi aktivitas keseharian manusia, bidang hukum yang yang disajikan sebagai sebentuk ajaran yang tidak pernah berubah sepanjang zaman, menyajikan pembelajaran al-Qur’an yang masih cendrung normatif tektual tanpa dibarengi pemahaman dan penjelasan bersifat intlektual dan sosial.



[1]Dogmatisme Rasional: dapat diartikan sebagai kepercayaan berlebihan kepada peran rasio dalam menentukan benar-salah, karena dipercaya didalamnya telah ada pengetahauan murni. Prinsip ini kemudian menjadi ajaran baik bagi golongan rasionalisme sendiri maupun bagi kelompok lain misalnya empirisme
[2] emansipatoris: dapat diartikan sebagai pengetahuan masih melangit, ideal dan belum mempunyai kepentingan dan bersentuhan langsung terhadap kehidupan manusia dan persoalannya
[3]Sekularisme: sebuah pemikiran yang dimulai dari kritik kebebasan terhadap otoritarianisme gereja (simbol agama) di Eropa tetapi kemudian berlanjut dengan pemisahan dan distorsi hingga menjadi bineroposisi misalkan agama dan non agama, rasional dan tidak rasional dan seterusnya
[4]Dalam bentuk yang paling konkrit sebagai representasi kesadaran yang Eropasentris yang dapat kita lihat misalkan adanya Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional dalam sistem pendidikan bangsa ini
[5]Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, hlm. 3-5
[6]Hal yang utopis dalam pendidikan misalnya adalah perubahan tidak akan kunjung terjadi meskipun pendidikan sudah diarahkan guna menyelesaikan persoalan hidup manusia. Hal itu terjadi disaat rancangan kurikulum pendidikan tidak di buat dan dilakukan dalam bingkai pemahaman kritis akan adanya dominasi kelompok barat disegala sisinya. Ketimpangan dan ketidakadilan baik di ruang pengetahuan dan sosial akan terus berlanjut jika pelaksanaan kurikulum pendidikan tidak dilakukan dengan membangun semangat perjuangan akan kemerdekaan dan kemandirian peserta didik akan adanya dominasi ini sehingga mereka terlepas akan jeratan jejaring ketidak bebasan dan ketimpangan semacam ini. Jika pelaksanaan pembelajaran tidak dibarengi sebuah pemahaman terhadap peserta didik akan adanya dominasi seperti diatas maka hal yang otopis akan perubahan akan benar-benar terjadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar