PEMBAHASAN
A. Rasionalisme
Jika dikaji secara mendalam perjalanan rasionalisme mulai Plato sampai
Libniz akan terlihat bahwa rasionalisme jatuh kepada Dogmatisme rasional[1]
serta serial imajinasi, dan semangat pengetahuannya belum praksis
emansipatoris[2].
Para tokoh rasionalisme tidak hanya terjebak kepada pilihan paradigmanya akan
rasio murni tetapi lebih dari itu mereka bagaikan segerombolan orang yang
mengadakan gerakan ajaran kebenaran rasio (dogmatisme rasional) dengan tidak
membuka peluang kritik terhadap pandangan lain misalnya rasio praksis
(empirisme), tetapi sebaliknya mereka mempertentangkannya.
Walaupun satu sisi rasionalisme membawa semangat kebebasan individu yang
kemudian diharapkan munculnya kreativitas tetapi disisi lain dari sinilah
munculnya paham sekularisme[3]. Paham
ini kemudian banyak memberikan dampak terhadap kewacanaan dan penyelenggaran
pendidikan yang disandingkan dengan agama dan kepercayaan umat manusia termasuk
kaum muslim di Indonesia[4]
B.Dampaknya terhadap penyelenggaraan pendidikan
Islam
Rasionalisme sudah sama-sama menjadi landasan perfikir para penyelenggaran
pendidikan di negeri ini, semangat keduanya terlihat dari pelaksanaan
pembelajaran yang banyak menitikberatkan pada kemampuan logika semata dan
sedikit banyak mengenyampingkan potensi, talenta, motivasi, kemauan, kemampuan
pesertadidik yang lainnya. Semangat pendidikan semacam itu merupakan turunan
dari cara berfikir berbasis rasionalisme.
Misalnya, dalam hal ini adalah kebijakan tentang UN, apakah persoalan hidup
yang mereka hadapi hanya mampu dipecahkan dengan berbekal kemahiran mereka
dalam menjawab soal-soal normatif diatas kertas. Pesertadidik pada akhirnya
miskin pengalaman atau belum banyak teruji di lapangan dan cendrung normatif
serta tidak kreatif menghadapi persoalan hidup dan menyelesaikannya.
Pesertadidik kemudian berkembang tidak dengan seluruh potensi yang mereka
miliki tetapi hanya berbekal logika tersebut, sebuah perkembangan yang timpang
dan tidak utuh, hal ini tentu saja dilarang agama Islam yang melarang cara-cara
seperti ini karena terlalu menyederhanakan ciptaanNYA yang mulia dan penuh
potensi yang bernama manusia.
Adapun ekpresinya dapat kita temukan dari cara-cara pendidik untuk membuat
pesertadidik belajar dengan menciptakan suasana atau lingkungan dan
mendisiplinkan pikiran dan aktivitas mereka yang kecendrungannya memaksa mereka
untuk kemudian mengikuti selera dan warna lingkungan yang telah tercipta
sebelumnya. Sebuah cara berfikir yang tidak lagi sensitiv bahkan masabodoh
terhadap potensi pesertadidik, mesin sudah dibuatkan tinggal memasukkan dan
mencetak bahan-bahan yang akan diproses melalui mekanisme dan proses-proses
yang telah dibuat sebelumnya.
Pada taraf inilah kemudian kecendrungan pendidikan adalah mencetak siswa
sesuai kemauan, persepsi, pengetahuan, selera, anggapan, asumsi kita sebagai
orangtua dan kita sebagai para ahli pendidikan. Keadaan ini diperparah dengan
cara pandang instrumental (implikasi industrialisasi) yang beranggapan bahwa
pendidikan itu laksana mengumpulkan pasukan perang untuk mencapai tujuan
tertentu, pesertadidik pada akhirnya dididik hanya untuk menguasai pengetahuan
dan keterampilan tertentu saja. Pendidikan sudah bergesar dari tujuan semula
yaitu proses untuk membantu pesertadidik untuk menemukan dan mengasah potensi
dan jatidirinya sendiri.
Pengaruh lainnya adalah sistem kontrol dan evaluasi yang jamak digunakan
oleh para guru terhadap pesertadidik adalah metode induksi, yaitu penilaian
aktivitas (dengan berkesimpulan) dan memberlakukannya secara universal terhadap
seluruh siswa dengan hanya melihat kebiasaan mereka secara umum tanpa
memperhatikan secara lebih dan inten keragaman karakter mereka.
Dalam hal kurikulum, mayoritas pola rancangan dan pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam akan banyak memakai cara-cara yang berkesadaran
Eropasentris, taruhlah dalam hal ini
1.
Pola kurikulum yang menekankan pada isi
2.
Pola kurikulum yang menekankan pada proses
3.
Pola kurikulum yang menekankan perpaduan pada
isi dan proses serta pengalaman belajar sekaligus.[5]
1.
Pola pertama
Menekankan terhadap
isi dan memandang manusia sebagai subyek mati dan harus diisi dengan ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai yang sudah mapan, pada akhirnya fungsi kurikulum
sebagai alat untuk mentransfer dan mewariskan sistem nilai dan ilmu pengetahuan
yang sudah baku. Peserta didik sudah dianggap cukup menjalani hidupnya hanya
dengan seperangkat pengetahuan tertentu, peserta didik pada akhirnya memiliki
kemampuan yang parsial dan terdistorsi, output pendidikan seperti ini akan
merasa asing dengan perkembangan dan gagap menghadapi perubahan sebagai akibat
dari pendekatan instrumental dalam merancang kurikulum . Pandangan ini tak
ubahnya semangat rasionalisme Descartes dengan subyek universalnya yang merasa
jauh dari aktivitas keseharian dan problem kehidupan, kesadaran subyek
universal kemudian menjaga jarak dan terasing menyendiri ditengah tantangan
hari ini dan masa depannya. Subyek universal sudah merasa cukup dan puas dengan
pengetahuan murninya/innate. Dilain pihak pengaruh positivisme juga begiru
tampak dalam pendekatan instrumental, taruhlah dalam hal ini standarisasi
pengetahuan, kompotensi yang harus dimilki peserta didik. Penyeragaman dan
fixsasi pemikiran, kemampuan dan aktivitas tidak dapat dihindari. Semua hal
dalam kurikulum ini akan terukur dan terstandarisasi dalam sebuah kepastian
angka-angka.
2.
Pola kedua
Menekankan terhadap
anggapan bahwa peserta didik sejak lahir sudah memiliki potensi-potensi.
Kurikulum pada akhirnya dirancang dan diarahkan untuk menyediakan dan
menciptakan lingkungan/situasi yang mendukung dan menunjang adanya potensi yang
sudah ada. Anggapan adanya potensi dasar/pengetahuan dasar dan murni pada diri
manusia pada mulanya merupakan dasar-dasar dari rasionalisme. Dalam
rasionalisme- pengetahuan, ide, dan kebenaran akan lahir dengan mencocokkan
Innate/apriori (pengetahuan bawaan/ murni) dengan objek yang ada di luar
innate. Kurikulum ini menjadikan peserta didik sebagai subjek pendidikan karena
kurikulum dirancang dengan melihat potensi dan kemampuan peserta didik. Ajaran
tentang subjek yang menjadi sentral merupakan ajaran rasionalisme: “Aku sangsi
adalah substansi yang tidak dapat disangsikan merupakan pengendali sejarah
(Embrio Modern)”. Ajaran tentang obyek di luar innate menemukan kesempurnaannya
pada saat empirisme memberikan dasar-dasar teoritiknya, sesuatu yang empirik
dan faktual di lapangan menjadi hal yang menentukan dan membantu akan
kesimpulan-kesimpulan sebuah pengetahuan. Empirisme berpandangan bahwa semua
ide gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang
dialami, biasanya berlawanan dengan rasionalsme. Hobes menyatakan bahwa
kenyataan terakhir adalah kenyataan indrawi (material yang dialami) sehingga
yang menjadi asas adalah materi dan gerak, sehingga harus didasarkan pada
observasi. Pola merancang dan mengembangkan kurikulum semacam ini merupakan
perbaduan apik antara semangat rasionalisme (subjek peserta didik sebagai titik
berangkat) dan empirisme (objek sebagai titik berangkat dengan menciptakan
situasi dan lingkungan yang mendukung potensi-potensi subjek).
3.
Pola ketiga
Menekankan
perpaduan pada isi dan proses serta pengalaman belajar sekaligus. Pihak ini
berasumsi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu
membutuhkan manusia lainnya, berinteraksi dan bekerja sama. Isi pendidikan
terdiri dari problem-problem aktual yang dihadapi dalam kehidupan nyata di
masyarakat. Karena itu dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan
bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat sebagai isi pendidikan,
sedangkan proses atau pengalaman belajar peserta didik adalah dengan cara
memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan
koloboratif, berupaya mencari pemecahan terhadap problem tersebut menuju
pembentukan masyarakat yang lebih baik. Pada bagian ini emberio mengarahkan
pendidikan untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan manusia sudah bisa
dilihat. Semangat semacam ini pada mulanya adalah semangat positivisme yang
beranggapan bahwa pengetahuan sebelumnya masih terlau melangit dan ideal karena
pengetahuan itu seharusnya membumi, ajaran seperti ini kemudian mendapatkan
titik terang pada awal madzhab kritis muncul meskipun kelompok ini jatuh pada
hal yang utopis karena belum tersedianya dasar-dasar teoritik yang memadai.
Positivisme yang jatuh pada instrumentalisme dan ideologis kemudian madzhab
kritis pada hal yang utopis[6] telah
menjadi semangat dalam merancang kurikulum pendidikan semacam ini. Pada bagian
memerankan teknologi dalam membuat kegiatan-kegiatan agar peserta didik
mempunyai pengalaman merupakan akibat dari saintisme yang merupakan turunan
dari positivisme.
Kurikulum pendidikan agama Islam belum mumpuni dalam analisis kritis dalam
melihat fakta terselubung diruang sosial sehingga berakibat pada tidak
berdampaknya pendidikan Islam terhadap perubahan yang lebih baik, berkeadilan
dan perlindungan akan hak-hak orang kecil (mustadhifin) di masyarakat, malahan
disisi lain pendidikan Islam masih menjadi penjaga moral murni orang lain yang
terlalu kaku sehingga mengakibatkan konflik horizontal yang tidak berkesudahan.
Di sisi lain epistimologi pengembangan kurikulum masih bersifat vertikal,
keadaan ini berakibat kepada terlalunya bermetafisika yang pada akhirnya
membuat adanya dominasi suatu katalis yang di posisikan sebagai subyek dan yang
lain obyek.
Secara umum dan dalam banyak kacamata para akedemis penyelengaraan
pendidikan agama Islam yang tergambar dalam rancangan kurikulum lebih banyak
menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya.
Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat
nilai yang komplek.Pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan
bersinkronisasi dengan pendidikan nonagama. Pendidikan agama tidak boleh
berjalan sendiri tetapi harus berjalan bersama dengan program-program
pendidikan nonagama kalau ia ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan
sosial.
Aktivitas keilmuan pendidikan agama Islam di tanah air hanya terfokus dan
terbatas pada kalam, falsafah, hadits, tarikh, fiqih, tafsir, lughah dan
sebagainya. Lembaga pendidikan Agama Islam belum mampu memasuki diskusi
ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer dan mengawinkan dan mempertautkan
dengan ilmu-ilmu keIslaman semisal antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat
dan sebagainya. Akibatnya terjadi kesenjangan antara ilmu-ilmu keIslaman klasik
dan keIslaman baru yang memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora
kontemporer.
Kondisi diatas dipersulit dengan penyajian materi pendidikan agama Islam
yang terlalu kaku semisal teologi yang kecendrungan pada paham fatalistik,
akhlak/moral yang kecendrungan berorientasi hanya pada sopan santun tidak
kepada katalis yang mampu memberikan dorongan perubahan kepada kemajuan, ibadah
yang hanya diajarkan sebagai ajaran formal ritual yang tidak dibarengi oleh
pemahaman dan penjelasan yang bersifat intelektualtual sehingga berkecendrungan
menjadi doktrin dan ajaran yang kaku dan asing bagi aktivitas keseharian
manusia, bidang hukum yang yang disajikan sebagai sebentuk ajaran yang tidak
pernah berubah sepanjang zaman, menyajikan pembelajaran al-Qur’an yang masih
cendrung normatif tektual tanpa dibarengi pemahaman dan penjelasan bersifat
intlektual dan sosial.
[1]Dogmatisme
Rasional: dapat diartikan sebagai kepercayaan berlebihan kepada peran rasio
dalam menentukan benar-salah, karena dipercaya didalamnya telah ada
pengetahauan murni. Prinsip ini kemudian menjadi ajaran baik bagi golongan
rasionalisme sendiri maupun bagi kelompok lain misalnya empirisme
[2] emansipatoris: dapat diartikan sebagai pengetahuan masih melangit, ideal
dan belum mempunyai kepentingan dan bersentuhan langsung terhadap kehidupan
manusia dan persoalannya
[3]Sekularisme:
sebuah pemikiran yang dimulai dari kritik kebebasan terhadap otoritarianisme
gereja (simbol agama) di Eropa tetapi kemudian berlanjut dengan pemisahan dan
distorsi hingga menjadi bineroposisi misalkan agama dan non agama, rasional dan
tidak rasional dan seterusnya
[4]Dalam bentuk
yang paling konkrit sebagai representasi kesadaran yang Eropasentris yang dapat
kita lihat misalkan adanya Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan
Nasional dalam sistem pendidikan bangsa ini
[5]Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, hlm. 3-5
[6]Hal yang
utopis dalam pendidikan misalnya adalah perubahan tidak akan kunjung terjadi
meskipun pendidikan sudah diarahkan guna menyelesaikan persoalan hidup manusia.
Hal itu terjadi disaat rancangan kurikulum pendidikan tidak di buat dan
dilakukan dalam bingkai pemahaman kritis akan adanya dominasi kelompok barat
disegala sisinya. Ketimpangan dan ketidakadilan baik di ruang pengetahuan dan
sosial akan terus berlanjut jika pelaksanaan kurikulum pendidikan tidak
dilakukan dengan membangun semangat perjuangan akan kemerdekaan dan kemandirian
peserta didik akan adanya dominasi ini sehingga mereka terlepas akan jeratan
jejaring ketidak bebasan dan ketimpangan semacam ini. Jika pelaksanaan
pembelajaran tidak dibarengi sebuah pemahaman terhadap peserta didik akan
adanya dominasi seperti diatas maka hal yang otopis akan perubahan akan
benar-benar terjadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar