MAKALAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi merupakan kata yang dinegasikan oleh setiap
orang, namun tidak orang menyadari bahwa korupsi telah menjadi bagian dari
dirinya. Hal ini biasanya terjadi akibat pemahaman yang keliru tentang korupsi
atau karena realitas struktural yang menghadirkan korupsi sebagai kekuatan
sistematik yang membuat tak berdaya para perilakunya. Ada nilai-nilai kultural seperi pemberian
hadiah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi, namun ada
pula sistem yang memaksa seseorang berlaku korupsi.
1.2 Rumusan
Masalah
a. Apa itu Korupsi?
b. Apa saja prinsip-prinsip antikorupsi
BAB
II
PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Korupsi dan Prinsip-Prinsip Korupsi
II.1.1. Defenisi Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari kata “korup”
yang berarti buruk, rusak, dan busuk “korup” juga dapat berarti dapat disogok
(melalui kekuasaan untuk kepentingan pribadi). Korupsi juga disebutkan berasal
dari bahasa latin corrupere dan corruptio yang berarti penyuapan dan corrupere
yang berarrti merusak. Istilah
ini kemudian di pakai dalam bebagai
bahasa asing, seperti Inggris menjadi cooruption dan di Indonesia
menjadi korupsi.
Dalam bahasa arab korupsi disebut riswah yang berarti penyuapan. Riswah
juga dimaknai sebagai uang suap. Korupsi sebagai sebuah tindakan yang
merusak dan berkhianat juga disebut fasad
dan gulul. Ketiga istilah ini
memiliki rujukan teologis baik dalam hadis maupun dalam Al-quran.
Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai
pemberian dan penerimaan suap. Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada
praktik pemberian suap atau penerimaaan suap. Dengan demikian baik yang
menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor.
David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai
tindakan-tindakan manipulasi dan kepurusan mengenai keuangan yang membahayakan
ekonomi. JJ Senturia dalam Encyclopedia
of social sciens (Vol VI, 1993) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekusaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini
dianggap sangat spesifik dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi
sebagai ranah pemerintah semata. Padahal seiring dengan proses swastanisasi
(privatisasi) perusahaan negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini masuk
dalam ranah negara ke sektor swasta, maka definisi korupsi mengalami perluasan.
Ia tidak hanya terkait dengan penyimpanagan yang dilakukan oleh pemerintah,
tapi juga oleh pihak swasta dan pejabat-pejabatranah publik baik politisi,
pegawai negrimaupun orang-orang dekat mereka yang memperkaya diri dengan cara
melanggar hukum. Berpijak paa hal tersebut Transparancy International memasukan
tiga unsur korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan
dan keuntungan pribadi baik secara pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat
dekat lainnya.
Dari beberapa defenisi
diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi dapat dipahami
dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan
terhadap kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan
kekuasaan baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya
termasuk lembaga pendidikan. Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk
tindakan penyalahgunaan kekuasaanuntuk mendapatkan keuntungan materil.
II.1.2. Prinsip-Prinsip Antikorupsi
Prinsip-prinsip anti korupsi pada dasarnya merupakan
langkah-langkah antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan korupsi
dapat dibendung bahkan diberantas. Pada dasarnya Prinsip-prinsip anti korupsi terkait dengan semua objek
kegiatan publik yang menuntut adanya integritas, objektivitas, kejujuran,
keterbukaaan, tanggung gugat dan meletakkan kepentingan publik diatsa
kepentingan individu. Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang harus
ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas,
transparansi, kewajaran dan adanya aturan maen yang dapat membatasi ruang gerak
korupsi, serat kontrol terhadap aturan maen tersebut.
1.
Akuntanbilitas
Prinsip akuntabilitas
merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini
pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang yang dijalankan sebuah lembaga dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna. Akuntabilitas mensyaratkan adanya sebuah
kontrak aturan maen baik yang teraktualisasidalam bentuk konvensi maupun
konstruksi, baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun pada level
lembaga. Melalui aturan maen itulah sebuah kebijakan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh kaerena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip
pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik
berupa perundang-undangan maupun dalam bebtuk komitmen dan dukungan masyarakat.
Keberadaan undang-undang
maupun peraturansecara otomatis mengaharuskan adanya akuntabilitas.Hal ini
berlansung pada seluruh level kelembagaan, baik pada level negara maupun
komunitas tertentu. Sebagai prinsip akuntabilitas undang-undang negara juga
menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang
karena kelengahan itu telah merugikan negara.
2. Transparansi
Transparansi merupakan
prinsip yang mengaharuskan semua kebijakan dilakukan secara terbuka sehingga
segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi
pintu masuk, sekaligus kontrol bagi seluruh bagi seluruh proses dinamika
struktural kelembagaan seluruh sektor kehidupan publik mensyaratkan adanya
transparansi sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan
masyarakat. Dalam bentuk yang paling sederhana keterikatan interaksi antar dua
individu atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan, keterbukaan dalam konteks
ini merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjujung kepercayaan yang
terbina antar individu.
Sektor-sektor yang harus melibatkan masyarakat adalah
sebagai berikut:
a. Proses penganggaran yang bewrsifat dari bawah ke atas, mulai dari
perencanaan, implementasi, laporan
pertanggungjawaban dan penilaian terhadap kinerja anggran. Hal ini perlu
dilakukan untuk memudahkan masyarakat melkukan kontrol terhadappengelolaan
anggaran.
b. Proses penyusunan kegiatan atau proyek
c. Proses pembahasan tentang pembuatan rancangan peraturan yang
berkaitan dengan strategi penggalangan dana.
d. Proses tentang tata cara dan mekanisme pengelolaan proyek mulai dari
proses tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban
secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh pimpinan proyek atau kontraktor.
3. Fairness
Fairness merupakan salah satu Prinsip-prinsip anti
korupsi yang mengedepankan kepatutan atau kewajaran. Prinsip Fairness
sesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinnya manipulasi dalam
penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bebtuk mark up maupun
ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumya,
maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipulasi dan penyimpangan
baik dalam bentuk anggaran, kebijkan dan lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut,
maka para perumus kebijakan pembangunan menekankan pentingnya prinsip fairness
dalam proses pembangunan hingga pelaksanaanya. Haze Croall dalam bukunya White
Collar Crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan kerah putih atau
koruptor sebagai kejahatan orang-orang yang menyukai cara-cara licik, menipu
dan jauh dari sifat-sifat fairness.
Untuk menghindari
pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses penganggaran, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:
a. Komprehensif dan disiplin
b. Fleksibilitas
c. Terprediksi
d. Kejujuran
e. Informatif
4. Kebijakan
Anti Korupsi
Kebijakan merupak sebuah upaya untuk mengatur tata
interaksi dalam ranah social. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan
berbagai telah memaksa setiap negara membuat undang-undang untuk mencegahnya.
Korupsi sebagai bagian dari nilai-nilaiyang ada dalam diri seseorang dapat
dikendalikan dan dikontrol oleh peraturan. Kebikjakan anti korupsi dapat
dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: isi kebijkan, pembuatan kebijakan,
penegakkan kebijakan, hukum kebijakan.
5. Kontrol
Kebijakan
Mengapa perlu kontrol kebijakan? Jawaban yang pasti atas
pertanyaan ini adalah karena tradisi pembangunan yang dianut selama ini lebih
bersifat sentralistik. Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa,
pembangunan diasumsikan dari pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini
berarti bahwa fungsi peran, dan kewenangan pemerintah teramat dominan hingga
terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas pemerintah dan sama sekali
tidak perlu melibatkan masyarakat seolah-olah pemerintah paling mengetahui
seluk beluk kehidupan masyarakat di negarannya. Itulah sebabnya, ditengah arus
demokratisasi, paradigma tersebut harus direkonstruksi sehingga tumbuh tradisi
baru berupa kontrol kebijakan.
Paling tidak terdapat tiga model kontrol terhadap
kebijakan pemerintah, yaitu oposisi, penyempurnaan dan perubahan terhadap
pemerintah. Penggunaaan tiga metode kontrol tersebut tergantung pada bentuk
perumusan dan pelaksanaan kebijakanpemerintah serta pilihan politik yang hendak
dibangun.
KESIMPULAN
Korupsi sebagai sebuak bentuk konsepsi mengalami
pemaknaan yang beragam. Mulai pemaknaan yang bersifat etimologis, terminologis,
sampai levelisasi korupsi. Sebagai sebuah penyimpangan, korupsi tidak hanya
berlangsung pada ranah kekuasaan untuk mencari keuntungan materi juga dalam
bentuk penyimpangan kepercayaan yang ada
pada setiap orang. Korupsi bukan hanya milik pemerintah, tapi juga sektor
swasta bahkan lembaga pendidikan. Korupsi tidak hanya berlangsung pada level
struktural, tapi juga kultural.
DAFTAR
PUSTAKA
Alatas, Syed Husein, korupsi, sebab dan fungsi, jakarta : LP3ES, 1987
Baasir faisal, pembangunan dan
krisis, jakarta: pustaka sinar harapan, 2003
Hartati, evi tindak pidana korupsi,
jakatra: sinar grafica, 2005
Prinsip-prinsip
antikorupsi pada dasarnya merupakan langkah-langkah antisipatif yang harus
dilakukan agar laju pergerakan korupsi dapat dibendung bahkan diberantas. Pada
dasarnya prinsip-prinsip antikorupsi terkait dengan semua aspek kegiatan public
yang menuntut adanya integritas, objektivitas, kejujuran, keterbukaan, tanggung
gugat, dan meletakkan kepentingan public di atas kepentingan individu.
Dalam konteks
korupsi ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya
korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, kewajaran (fairness), dan
adanya aturan main yang dapat membatasi ruang gerak korupsi serta control
terhadap aturan main tersebut.
2.
.AKUNTABILITAS
Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting dalam rangka mencegah
terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap
kebijakan dan langkah-langkah yang dijalankan sebuah lembaga dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh karena itu prinsip akuntabilitas
sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat
pendukung, baik berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk
komitmen dan dukungan masyarakat (de facto). Keberadaan undang-undang maupun
peraturan secara otomatis mengharuskan adanya akuntabilitas. Dalam hal keuangan
Negara pemerintah memliki undang-undang tentang pengelolaan anggaran Negara.
Sesuai dengan penjelasan pasal 12 ayat 3 undang-undang tentang keuangan Negara,
defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan
jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari pendapatan domestik bruto
(PDB). Dalam penyusunan APBD defisit juga tidak boleh melebihi 3 persen dan
utang tidak boleh melebihi 60 persen dari PBD.
Sebagai bentuk perwujudan prinsip akuntabilitas, undang-undang
keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan
atas mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah merugikan Negara.
Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap penganggaran
biaya dapat disusun sesuai target atau sasaran.
Agenda-agenda yang harus ditempuh untuk mewujudkan prinsip-prinsip
akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara meliputi dua aspek yaitu :
1.)
Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme
yang berjalan selama ini adalah bahwa setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat
dalam beberapa rangkap yang ditunjukkan kepada penanggungjawab proyek pada
lembaga yang bersangkutan dan yang menadai, yakni Direktorat Jendral Anggaran
Departemen Keuangan, yang kemudian ditembuskan kepada komponen-komponen atau
lembaga yang melakukan pengawasan.
Melalui prinsip
akuntabilitas, maka mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban tidak hanya
diajukan kepada segelintir pihak seperti penanggung jawab proyek dan direktorat
jendral anggaran departemen keuangan , melainkan kepada semua pihak khususnya
kepada lembaga-lembaga control seperti DPR yang membidanginya serta kepada
masyarakat. Disamping itu, prinsip akuntabilitas akan menekankan pentingnya
proses penganggaran keuangan yang lebih memfokuskan pada produk-produk anggaran
yang riil. Demikian juga dengan forum-forum untuk penentuan anggaran dana
pembanguna harus dilakukan dengan cara yang mudah sehingga masyarakat memiliki
akses untuk forum-forum tersebut jika forum-forum penganggaran biaya pembangunan
itu rumit atau terkesan rahasia maka akan menjadi sasaran koru[tor untuk
memainkan peran jahatnya dengan maksimal.
2.)
Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini
evaluasi hanya terbatas sebagai penilaian dan evaluasi terhadap kinerja administrasi
dan proses pelaksanaan seperti diuraikan sebelumnya dan tidak dilakukan.
Evaluasi terhadap dampak dan manfaat yang diberikan oleh setiap proyek kepada
masyarakat, baik dampak langsung maupun manfaat jangka panjang setelah beberapa
tahun proyek itu dilaksanakan. Sector evaluasi merupakan sector yang wajib di
akuntabilitasi demi menjaga kredibilitas keuangan yang telah dianggarkan.
Ketiadaan evaluasi yang serius akan mengakibatkan tradisi penganggaran keuangan
yang buruk.
3.
TRANSPARANSI
Transparansi merupakan prinsip yang menghartuskan semua proses
kebijakan dilakukan secara terbuka,
sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh public. Transparansi
menjadi pintu masuk, sekaligus konrtol bagi seluruh proses dinamika structural
kelembagaan sluruh sector kehidupan public mensyatratkan adanya transparasi,
sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat.
Dalam bentuk yang paling sederhana, keterikatan interaksi antar dua individu
atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan. Keterbukaan dalam konteks ini
merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjunjung kepercayaan (trust)
yang terbina antar individu.
Dalam konteks pemberantasan korupsi yang melibatkan kekuasaan dan
keuangan, ada sektorsektor yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar tidak
terjebak dalam lingkartan setan korupsi yang begitu akut dan
menyengsarakan rakyat. Sektorsektor yang
harus melibatkan masyarakat adalah sebagai berikut:
Pertama, proses penganggaran yang bersifat dari bawah ke atas
(bottom up), mulai dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban
dan penilaian (evaluasi) terhadap kinerja anggaran, hal ini perlu dilakukan
untuk memudahkan masyrakatr melakukan
control terhadap pengelolaan anggaran.
Kedua, proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan dan
anggaran. Hal ini terkait pula dengan proses pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan (anggartan
pendapatan) dan alokasi anggaran (anggaran belanja) pada semua tingkatan yang
tidak cukup hanya melibatkan pihak-pihak
tertentu.
Ketiga, proses pembahasan tentang
pembuatan rancangan peraturan yang beraturan dengan strategi
penggalangan dana pembangunan dlam penetapan retribusi, pajak serta
aturan-aturan lain yang berkaitan dengan penganggaran pemerintah.
Keempat, proses pembahasan tentang tata cara dan mekanisme
pengelolaan proyek mulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan
financial pertanggung jawaban secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh
pimpinan proyek atau kontraktor. Proses pengawasan dalam pelaksanam program dan
proyek pembangunan yang berkaitan dengan kepentinagn public atau pemenuhan
kebutuhan masyarakat dan yang lebih khusus lagi adalah proyek-proyek yang
diusulkan oleh masyarakat sendiri.
Kelima, proses evaluasi terhadap penyelenggaraan
proyek yang dilakukan secara terbuka dan bukan hanya pertanggung jawaban secara
administratif. Evaluasi harus dilakukan sebagai pertanggung jawaban secara teknis dan fisik dari seriap out
put kerja-kerja pembangunan.
Untuk memperjelas gambaran peran serta
masyarakat dalam proses transparansi kebijakan pembangunan, khusunya yang
bersentuhan dengan anggaran tersebut, maka dapat di gambarkan sebagai berikut:
Dengan demikian, secara teknis yang dapat
dikembangkan dalam system penganggaran hingga proses pelaksanaanya adalah
adanya transparansi dan keterbukaan kepada public. Salah contoh konkret yang
lain adalah dalam hal tender pelaksanaan
proyek, tender ini harus dilakukan secara transparan, lelenag terbuka berdasarkan
komitmen bersama antara semua komponen (stakebolder) terkait dengan
proyek yang akn dikerjakan. demikian pula dalam hal pengawasan dan control,
masyarakat harus mendapat legitimasi dan secara yuridis mendapatkan pengakuan
dari pemerintah. Faktor lain adalah persyaratan jangka waktu teknis dari suatau
proyek. Kebanyakan penyimpangan terjadi karena tidak ada ketegasan atau
penetapan syarat jangka waktu teknis atau proyek proyek fisik). Sehubungan
dengan ini, maka seharusnya bukan hanya aspek ketepatan waktu penyelesain proyek yang ditetapkan bagi
setiap kontraktor, dimana pekerjaan dianggap selesai setelah serah terima hasil
(out put) pekerjaan. Akan tetapi harus ada pertanggung jawaban waktu
teknis dari setiap output pekerjaan. Misalnya, pertanggung jawaban
terhadap kualitas pekerjaan yang telah diselesaikan (ada garansi hasil pekerjaan dari kontraktor sebagi jaminan atas kualitas
pekerjaan yang diselesaiakan), khususnya untuk proyek-proyek fisik.
Kurangya transparansi dalam pengelolaan
keuangan Negara ini dapat dilihat dari tidak tertatanya adminidtrasi keuangan
Negara dengan baik. Hal ini misalnya bias dilihat dari aliran dana
tertentu (non budgeter) yang ada
dibeberapa departemen. Dana-dana tersebut biasanya hanya diketahui segelintir
orang. Tentu saja semua itu merupakan makanan empuk bagi para pejabat bermental
korup. Ketidaktahuan masyarakat akan
dana-dana tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum aparat untuk menikmatinya
sesuka hati. Jika saja dana-dana non-bujeter tersebut - yang tentu saja bisa berasal dari APBN –
maka bias dipastikan betapa besar kerugian Negara yang harus ditanggung oleh
karenanya, masyarakat harus memiliki akses terhadap pengelolaan keuangan
Negara, sehingga ketidaktahuan rakyat akan dana-dana tersebut tidak terulang
kembali.
Transparansi pengelolaan keuangan negara
sangat mendesak untuk dilakukan semua itu penting agar lembaga-lembaga control
sepeti DPR maupun lembaga control dari lsm mendapatkan kemudahan untuk
mengetahui segenap dana-dan yang tidak terdeteksi atau tidak diketahui umum.
Oleh karenanya, salah satu bentuk umum dari metode transparansi keuanagn Negara
ini adalah diharuskannya pemisahan fungsi kepengurusan pembukuan (book
keeping). Rentang kendali seperti ini diharapkan tidak menimbulkan
rendahnya control (pengendalian intern), sehingga dapat menimbulkan
in-efisiensi dan ketidakefektifan pengelolaan keuangan Negara.
Proses transparansi di masing-masing Negara
berbeda-beda. Di hongkong misalnya, badan yang bertugas mengatasi korupsi
diberi wewenang untuk mempelajari dan menelah tata kerja di instansi atau
kantor tersebut. Dari teknis tersebut kemudian di buat rekomendasi kepada
instansi atua kantor yang bersangkutan tentang bagaimana tata cara kerja yang
seharusnya di lakukan supaya tidak terjadi korupsi, atau setidaknya memperkecil
kemungkinan tewrjadinya korupsin dengan tata cara yangb di rekomendasikan
tersebut. Langakah ini member inisiatif kepad lembaga pengontrol untuk tidak
hanya menilai kinerja sebuah lembaga melalui laporan kegiatan dan evaluasi
semata. Lembaga komntrol ini secara aktif mengamati secara langsung mekanisme
kerja masinh-masing lembaga, sehingga mereka mengetahui proses terjadinya
korupsi sekaligus mengambil langkah-langkah penyelesainnya.
4.
FAIRNESS
Fairness merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan
kepatuhan atau
Kewajaran. Prinsip fairness saesungguhnya lebih ditujukan
untuk mencegah terjadinya manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan,
baik dalam bentuk merk up maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika
mempelajari definisi korupsi sebelumnya, maka dalam korupsi itu sendiri
terdapat unsur-unsur manipuilasi yang penyimpangan baik dalam bentuk anggaran,
kebijakan, dan sebagainya.
Berdasarkan kondisi tersebut maka, maka para perumus kebijakan
pembangunan menekankan pentingnya prinsip fairness dalam proses
penganggaran hingga pelaksanaanya. Prinsip ini merupakan bagian dari tegaknya Good
Coorperate Governance (GCG). Munculnya wacana GCG yang salah satunya
berprinsipkan fairness (kewajaran) ini dilatarbelakangi oleh terjadinya
skandal keuangan secara beruntun yang menerpa perusahaan-perusahaan besar di
AS, seperti enron, Qwest Communications, Global crossing, Tyco dan Worldcom.
Skandal keuangan tersebut di lakukan oleh para penjahat kelas elit, di mana
tindakan mereka ini sering di seburt sebagai kejahatan kerah putih (White
collar crime).
Hyzell croal dalam
bukunya White collar crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan
kerah putih atau koruptor sebagai kejahatn ornag-orang yang menyukai cara-cara
licik. Menipu ,dan jauh dari sifat-sifat fairness. Croall berkata: “white
collar crime is defined as the abuse of legimate occupational rol which is
regulated by law. Selanjutnya dikatakanya pula the tirm white collar
crime with fraud embexxl ment and other offences associated bigh status
employess. Apa yang menjadi makna pernyataan croall tersebut adalah bahwa
kejahatn yang sellu menggorogoti aset perusahaan dalam jumlah besar ini,
umumnya di lakukan dengan cara menipu, menggelapkan, dan cara-cara licik
lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak jujur (unfair) dan
tidak menyukai kejujuran (dislike to
fairness).
Untuk menghindari
pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses
penganggaran, di perlukan beberapa lanhkah sebagai berikut:
Pertama, komprehensif
dan disiplin yang berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek, berkesinambungan,
taat asas, prinsip pembebanan, pengeluaran, dan tidak melampaui batas (off
budget). Asas ini di maksudkan agar anggaran bias di manffatkan secara
sewajarnya.
Kedua,fleksibilitas
yaitu adanya diskresi tertentu dalam
konteks efisiensi dan efektibilitas (prinsip tak tersangka, perubahan,
pergeseran, dan dio sentralisasi manajemen).
Ketiga, terprediksi,
yaitu ketetapan perencanaan atasa dasar asas value vor money dan
menghindari defisit dalam trahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi
merupakan cerminan dari adanya prinsip fairness di dalam proses
pembangunan. Sudah menjadi kewajaran manakala anggaran pembangunan ini sebisa
mungkin menghindari deficit. Pada waktu-waktu lalu, terjadinya deficit sering
di akibatkan oleh tingkah polah koruptor yang sengaja mengeruk-ngeruk anggaran
pembangunan yang sudah pasti. Akibatnya pemerintah harus membayar
kerugian-kerugian defisat tersebut.
Keempat, kejujuran, yaitu adanya bias perkiraan penerimaan maupun
pengeluaraan yang di sengaja, yang berasal dari pertimbangan teknis maupun
politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari prinsip fairness. Dengan
kejujuran, maka segala hal yang bersangkuran dengan pembangunan, baik mulai
dari proses penganggaran hingga pelaksanaanya harus sesuai dengan apa yang di
tetapkan. Tidak lagi terjadi nantinya bahwa ap yang menjadi kenyataan di
lapangan berbeda dengan apa yang telah di rumuskan. Semuanya harus wajar, harus
jujur, dan berjalan dengan seperti apa yang di rencanakan dan di tetapkan.
Kelima, informative,
yakni perlu system informasi pelaporan yang teratur dan informative sebagai
dasar penilaian kinerja, kejujuran dan proses pengembalian keputusan. Sifat
informatif merupakan cirri khas dari kejujuran. Pemerintah yang informatif dan
membantu kerja-kerja lembaga control seperti DPR, LSM maupun masyarakat secara
langsung, berarti merupakan pemerintah yang telah bersikap wajar dan jujur dan
tidak menutup-nutupi apa yang memang harus di sampaikan.
Prinsip fairness
akan teraktualisasi secara signifikan apabila didukung oleh prinsip
meritokrasi, yaitu sebuah system yang menekankan pada kualitas, kompetensi, dan
prestasi seseorang selama ini, prinsip meritokrasi terabaikan oleh adanya
ikatan-ikatan primordial yang di dukung oleh kekuasaan yang
birokratis-sentralistik, sehingga memancing timbulnya tindakan-tindakan yang
menyimpang dari prinsip-prinsip kewajaran.
Dengan demikian,
prinsip fairness bertujuan mencegah menjalarnya praktekpraktek
ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun penyimpangan dalam segala level
kehidupan. di samping itu, fairness dapat menggiring setiap proses
pembangunan khususnya yang berkaitan dengan penganggaran berjalan secara wajar,
jujur, dan sesuai dengan prosedur yang telah di sepakati bersama pemerintah dan
rakyat.
5.
KEBIJAKAN ANTIKORUPSI
Kebijakan merupakan sebuah usaha mengatur tata
interaksi dalam ranah sosial. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang
mengancam tata kehidupan berbangsa telah memaksa setiap Negara membuat
undang-undang untuk mencegahnya. Beberapa Negara membuat aturan main anti
korupsi yang mempersempit ruang gerak perilaku korupsi. Kebijakan tersebut
tidak selalu identik dengan undang-undang anti korupsi, namu bias berupa
undang-undang kebebasan mengakses
informasi, undang-undang di sentralisasi, undang-undang anti monopoli, mauoun
yang lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol
kinerja dan penggunaan anggaran Negara oleh para pejabat Negara.
Signifikan kebijakan anti korupsi terletak padsa
asumsi bahwa hokum atau penegakan hokum di yakini sebagai cara efektif untuk
mengendalikan naluri berbuat korupsi. Korupsi bagian dari nilai-nilai yang ada
dalam diri seseorang dapat di kendalikan dan di control oleh peraturan atau undang-undang
langkah ini merupakan subsistem dari keseluruhan sistem kehidupan sebuah Negara
yang merangkul sekaligus menat beragam kepentigan, demi terciptanya sebuah
kenegaraan yang harmonis.
Kebijakan antikorupsi dapat di lihat dalam beberapa
perspektif:
Pertama,isi kebijakan. Komponen penting dari sebuah
kebijakan adalah konten atau isi dari kebijakan tersebut. Dengan kata lain,
kebijakan anti-korupsi menjadi efektif apabila di dalamnya terkandung
unsure-unsur yang terkait dengan persoalan korupsi sebagai focus dari kegiatanm
tersebut. Paling tidak, di dalamnya terkandung unsure-unsur yang secara
teoretis dapat menjawab persoalan yang hendak di atur dalam kebijakan
antikorupsi.
Kedua, pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak
bias dilepaskan dari para pembuat kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan
merupakan cermin dari kualitas dan integritas pembuatnya. Sekaligus akan
menentukan kualitas isi kebijakan tersebut. Apabila pembuat kebijakan
antikorupsi adalah mereka yang tidak memahami duduk masalah korupsi atau justru
mereka menjadi bagian dari carut marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat
menjadi control dan memberikan jalan dari tindakn korupsi, justru tindakan
tersebut bias menjadi bumerang bagi pemberantasan korupsi.
Ketiga, penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di
buat dapat berfungsi apabila di dukung oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu
sendiri. Penegak kebijakan dalm struktur kenegaraan modern terdiri dari
kepolisian, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Apabila penegak
kebijakan tidak memiliki komitmen untuk meletakkanya sebagai aturan yang
mengikat bagi semua, termasuk bagi dirinya, maka sebuah kebijakan hanya akan
menjadi instrumen kekuasaan yang justru melahirkan kesenjangan, Ketidakadilan,
dan bentuk penyimpangan lainya.
Keempat, kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah
kebijakan terkait dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran
masyarakat terhadap hokum undang-undang anti korupsi. Lebih jauh kultur
kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Keempat hal tersebut akan menentukan efektifitas
pelaksanaan dan fungsi sebuah kebijakan. Dalam konteks kebijakan antikorupsi,
maka keempat komponen tersebut akan berpengaruh terhadap efektifitas pemberantasan
korupsi melalui kebijakan yang ada.
Namun, sebagai produk politik, sebuah kebijakan
seringkali tidak berfungsi secara maksimal baik karena adanya intervensi
kekuasaan maupun karena tidak di potong
oleh sistem maupun budaya masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi
yang seharusnya bias efektif melalui peraturan tidak berjalan secara normal.
hal ini bias di lihat dari sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang
belum mampu menghasilkan kerja maksimal di bandingkan dengan keberadaan undang-undang
atau peraturan antikorupsi yang sudah ada sejak lama. Bahkan sebagai Negara
asia yang memiliki undang-undang antikorupsi, Indonesia jusdtru berada di tingkat
yang sangat rendah dalam peringkat Negara-negara yang bebas dari korupsi.
6. CONTROL
KEBIJAKAN
Mengapa perlu control kebijakan ? jawaban yang pasti
atas pertanyaan ini adalah karena tradisi pembangunan yang di anut selama ini
lebih bersifat sentralistik. Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan di
ansumsikan dari pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa
fungsi, peran, dan kewenangan pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa
proses kenegaraan hanya menjadi tugas pemerintah dan sama sekali tidak perlu
melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah dan sama sekali tidak perlu
melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah paling mengetahui seluk beluk
kehidupan masyarakat di negaranya. Itulah sebabnya, di tengah arus
demokratisasi, paradigma tersebut harus di rekonstruksi sehingga tumbuh tradisi
baru berupa control kebijakan.
Tradisi control kebijakan ini memeiliki perbedaan di
berbagai Negara di dunia. Negara dengan basis sistem politik dan sistem
pengawasan kebijakan yang lemah semisal di Negara-negara berkembang, lebih
rentan bagi tumbuh suburnya korupsi dari pada di Negara- Negara modern yang
memiliki sistem politik serta control yang relatif kuat. Control sosial dan
control lembaga pada Negara-negara berkembang dan terbelakang relatif masih
lemah, sehingga tidak mempu membendung perilaku aparat pemerintah dalam
melakukan tindakan penyimpoangan dan
penyelewengan.
Kenyataan tersebut menunjukkan adanya peran pemerintyah
yang begitu kuat (exevutive beavy), sehingga memaksa semua pihak berada
dalam kendalanya tanpa reserve. Masalah ini m,enjadi semakin kompleks ketika
persoalan mentalitas di kalangan aparat pemerintah lebih menonjolkan
kepentinganya masing-masing. Konsekuensinya, pembangunan tidak hanya menjadi
kaku dalam pelaksanaanya, tetapi sering memihak pada kelompok ekonomi dan
sosial yang kuat. Memihak pada kelompok yang kuat akan lebih menjanjikan
imbalan materi bagi aparat pelaksana proyek dari pada memihak pada kelompok
yang lemah.
Dari perspektif di atas, hubungan kolusi antara
penguasa dan pengusaha acapkali terjadi dalam bingkai terlalu dominannya
kekuasaan yang tidak di imbangi oleh pengawasan dan control kebijakan. Tidak
adanya pengawasan dan kebijakan terhadap pemerintah menyebabkan pemerintah
sering kali mengambil kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang dan
merugikan banyak orang. Control
kebijakan merupakan salah satu cara yang jitu untuk memberantas atau minimal
mengurangi tindakn korupsi yang
merajalela.
Terbentuknya lembaga atau forum-forum yang peduli
terhadap masalah- masalah penganggaran merupakan embrio bagi tumbuh dan
berkembangya gerakan rakyat untuk melakukan control dan pengawasan kepada
pemerintah. Pada saat kesadaran masyarakat yang kian bangkit itu, maka
langkah-langkah yang dan konkret dari
setiap lembaga di harapkan mengembalikan tiga strategi pokok yang saling
terkait yaitu: analisis kebijakan, advokasi, dan pemberdayaan komunitas local.
Semuanya mengarah pada upaya menciptakn proses-proses penganggaran yang
transparan untuk kepentingan masyarakat local dan daerah.
Paling tidak terdapat tiga model control terhadap
kebijakan pemerintah, yaitu oposisi, penyempurnaan, dan perubahan terhadap
pemerintah. Penggunaan tioga model control tersebut tergantung pada bentuik
rumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah serta pilihan politik yang hendak di bangun. Namun,
substansi dari ketiga model itu adalah keterlibatan masyarakat dalam mengontrol
kebijakan Negara. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip penganggaran dan
pengelolaan keuangan Negara, yakni tertib waktu dan administrasi, taat
perundang-undangan, transparan, akuntabilitas,
alokasi dan distribusi, stabilitas dan kepatuhan seta keadilan, maka
keterlibatan rakyat menjadi sangat strategis. Keterlibatan rakyat dalam proses
penganggaran tidak hanya pada tahap perencanaan atau program hingga proyek,
tetapi juga pada saat pembahasan dan pengalokasian anggaran. Lebih jauh lagi
rakyat juga harus terlibat ketika anggaran itu di kelola di lapangan, pada saat
di turunkan dalam bentuk proyek baik kegiatan yang berbentuk fisik maupun
non-fisik. Peran dan keterlibatan rakyat dalam melakukan pengawasan dan control
pada saat implementasi sangat penting untuk menghindari adanya penyelewengan
dan penyimpangan anggaran. Termasuk pula dalam hal evaluasi dan penelitian
kinerja anggaran, rakyat atau masyarakat tetap harus ikut bertanggung jawab
untuk melakukannya sebagai bahan dalam menyusun rencana kegiatan atau program
selanjutnya.
Secara lebih focus, yang menjadi sasaran pengawasan dan
control public dalam proses pengewloolaan anggaran Negara adalah: pertama,
berkaitan dengan konsistensi dalam perencanaan program atau kegiatan. Dan
kedua, berkaitan denghan pelaksanaan penganggaran itu sendiri.
Melalui focus atau sasaran pertama, program program
kegiatan atau proyek yang di tetapkan DPR/DPRD bersama dengan pemerintah
(presiden, gubernur, dan bupati) harus sesuai denghan yang di usulkan oleh
rakyat dan sesuai puila dengan kegiatan proyek/program yang telah
disosialisasikan kepada rakyat.
Sementara melalui focus dan sasaran yang kedua,
dimaksudkan agar masyarakat secara intensif melakukan control dan pengawasan
terhadap sector-sektro yang meliputi:
1.
Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti
pajak dan retribusi, penjualan migas dan sumber-sumber lain yang di kelolah
oleh pemerintah.
2.
Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran
Negara seperti proses penepatan pajak retribusi dan penetapannya, dana
perimbangan (pusat dan daerah), penetapan pinjaman luar negeri dan pengolalanya
dalam penganggaran.
3.
Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan
proyak yang di sampaikan oleh kontraktor atau pemimpin proyek, baik secara
administrasi maupun kualitas pekerjaan secara fisik.
4.
Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya
dibatasi pada aspek ketepatan dalam penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap
selesai setelah serah terima hasil (out put) pekerjaan, tetapi harus ada
pertanggung jawaban teknis terhadap kualitas setiap pekerjaan yang telah
dikerjakan , terutama proyek-proyek fisik.
Dengan demikian, control terhadap kebijakan mulai
proses pembuatan sampai pelaksanaan dan dampat yang di hasilkan dapat
dievaluasi dan terus di sempurnakan. Lebih dari itu, seluruh rangkaian
kebiojakan tersebut dapat menutup peluang bagi berseminya korupsi.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Korupsi sebagai sebuah konsepsi mengalami pemaknaan yang
beragam. Mulai pemaknaan yang bersifat etimologis, terminologis, sampai
levelisasi korupsi. Sebagai sebuah penyimpangan, korupsi tidak hanya
berlangsung pada ranah kekuasaan untuk mencari keuntungan materi, namu juga dalam
bentuk penyimpangan kepercayaan (betrayal of trust) yang ada pada setiap
orang. Korupsi bukan hanya milik pejabat pemerintah, tapi juga sector swasta
bahkan lembaga pendidikan. Korupsi tidak hanya berlangsung pada level
structural, tapi juga cultural.
Korupsi
dapat menjadi ancaman yang sangat serius ketika ia berlangsung pada ranah
structural yang melibatkan kekuasaan dan mencari keuntungan material. Pada
titik ini korupsi tidak hanya merugikan keuangan, api menyelewengkan kekuasaan
dan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun orang terdekat. Kenyataan ini
akan merusak tatanan sosial kemasyarakatan maupun eksistensi sebuah lembaga,
bahkan eksistensi Negara bangsa.