Jumat, 14 Desember 2012


MAKALAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Korupsi merupakan kata yang dinegasikan oleh setiap orang, namun tidak orang menyadari bahwa korupsi telah menjadi bagian dari dirinya. Hal ini biasanya terjadi akibat pemahaman yang keliru tentang korupsi atau karena realitas struktural yang menghadirkan korupsi sebagai kekuatan sistematik yang membuat tak berdaya para perilakunya. Ada nilai-nilai kultural seperi pemberian hadiah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan korupsi, namun ada pula sistem yang memaksa seseorang berlaku korupsi.


1.2 Rumusan Masalah
a. Apa itu Korupsi?
b. Apa saja prinsip-prinsip antikorupsi 

 BAB II
PEMBAHASAN



II.1. Pengertian Korupsi dan Prinsip-Prinsip Korupsi

II.1.1.  Defenisi Korupsi
Secara etimologis, korupsi berasal dari kata “korup” yang berarti buruk, rusak, dan busuk “korup” juga dapat berarti dapat disogok (melalui kekuasaan untuk kepentingan pribadi). Korupsi juga disebutkan berasal dari bahasa latin corrupere dan corruptio yang berarti penyuapan  dan corrupere yang berarrti merusak. Istilah ini kemudian di pakai dalam bebagai bahasa asing, seperti Inggris menjadi cooruption dan di Indonesia menjadi korupsi.
Dalam bahasa arab korupsi disebut riswah yang berarti penyuapan. Riswah juga dimaknai sebagai uang suap. Korupsi sebagai sebuah tindakan yang merusak dan berkhianat juga disebut fasad dan gulul. Ketiga istilah ini memiliki rujukan teologis baik dalam hadis maupun dalam Al-quran.
Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan suap. Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan suap. Dengan demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor.
David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai tindakan-tindakan manipulasi dan kepurusan mengenai keuangan yang membahayakan ekonomi. JJ Senturia dalam Encyclopedia of social sciens (Vol VI, 1993) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekusaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap sangat spesifik dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah pemerintah semata. Padahal seiring dengan proses swastanisasi (privatisasi) perusahaan negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini masuk dalam ranah negara ke sektor swasta, maka definisi korupsi mengalami perluasan. Ia tidak hanya terkait dengan penyimpanagan yang dilakukan oleh pemerintah, tapi juga oleh pihak swasta dan pejabat-pejabatranah publik baik politisi, pegawai negrimaupun orang-orang dekat mereka yang memperkaya diri dengan cara melanggar hukum. Berpijak paa hal tersebut Transparancy International memasukan tiga unsur korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan dan keuntungan pribadi baik secara pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi dapat dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan terhadap kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga pendidikan. Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan kekuasaanuntuk mendapatkan keuntungan materil.

II.1.2. Prinsip-Prinsip Antikorupsi
Prinsip-prinsip anti korupsi pada dasarnya merupakan langkah-langkah antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan korupsi dapat dibendung bahkan diberantas. Pada dasarnya Prinsip-prinsip anti korupsi terkait dengan semua objek kegiatan publik yang menuntut adanya integritas, objektivitas, kejujuran, keterbukaaan, tanggung gugat dan meletakkan kepentingan publik diatsa kepentingan individu. Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, kewajaran dan adanya aturan maen yang dapat membatasi ruang gerak korupsi, serat kontrol terhadap aturan maen tersebut.
1.      Akuntanbilitas
Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang  yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Akuntabilitas mensyaratkan adanya sebuah kontrak aturan maen baik yang teraktualisasidalam bentuk konvensi maupun konstruksi, baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun pada level lembaga. Melalui aturan maen itulah sebuah kebijakan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh kaerena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan maupun dalam bebtuk komitmen dan dukungan masyarakat.
Keberadaan undang-undang maupun peraturansecara otomatis mengaharuskan adanya akuntabilitas.Hal ini berlansung pada seluruh level kelembagaan, baik pada level negara maupun komunitas tertentu. Sebagai prinsip akuntabilitas undang-undang negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan itu telah merugikan negara.

2.   Transparansi
Transparansi merupakan prinsip yang mengaharuskan semua kebijakan dilakukan secara terbuka sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi pintu masuk, sekaligus kontrol bagi seluruh bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan seluruh sektor kehidupan publik mensyaratkan adanya transparansi sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat. Dalam bentuk yang paling sederhana keterikatan interaksi antar dua individu atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan, keterbukaan dalam konteks ini merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjujung kepercayaan yang terbina antar  individu.
Sektor-sektor yang harus melibatkan masyarakat adalah sebagai berikut:
a.       Proses penganggaran yang bewrsifat dari bawah ke atas, mulai dari perencanaan,      implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian terhadap kinerja anggran. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan masyarakat melkukan kontrol terhadappengelolaan anggaran.
b.      Proses penyusunan kegiatan atau proyek
c.       Proses pembahasan tentang pembuatan rancangan peraturan yang berkaitan dengan strategi penggalangan dana.
d.      Proses tentang tata cara dan mekanisme pengelolaan proyek mulai dari proses tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh pimpinan proyek atau kontraktor.

3.   Fairness
Fairness merupakan salah satu Prinsip-prinsip anti korupsi yang mengedepankan kepatutan atau kewajaran. Prinsip Fairness sesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinnya manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bebtuk mark up maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumya, maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipulasi dan penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijkan dan lainnya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka para perumus kebijakan pembangunan menekankan pentingnya prinsip fairness dalam proses pembangunan hingga pelaksanaanya. Haze Croall dalam bukunya White Collar Crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan kerah putih atau koruptor sebagai kejahatan orang-orang yang menyukai cara-cara licik, menipu dan jauh dari sifat-sifat fairness.
Untuk menghindari  pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses  penganggaran, diperlukan  beberapa langkah sebagai berikut:
a.       Komprehensif dan disiplin
b.      Fleksibilitas
c.       Terprediksi
d.      Kejujuran
e.       Informatif

4.   Kebijakan Anti Korupsi
Kebijakan merupak sebuah upaya untuk mengatur tata interaksi dalam ranah social. Korupsi sebagai bentuk kejahatan  luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbagai telah memaksa setiap negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Korupsi sebagai bagian dari nilai-nilaiyang ada dalam diri seseorang dapat dikendalikan dan dikontrol oleh peraturan. Kebikjakan anti korupsi dapat dilihat dalam beberapa perspektif, yaitu: isi kebijkan, pembuatan kebijakan, penegakkan kebijakan, hukum kebijakan.

5.   Kontrol Kebijakan
Mengapa perlu kontrol kebijakan? Jawaban yang pasti atas pertanyaan ini adalah karena tradisi pembangunan yang dianut selama ini lebih bersifat sentralistik. Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan diasumsikan dari pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi peran, dan kewenangan pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan masyarakat seolah-olah pemerintah paling mengetahui seluk beluk kehidupan masyarakat di negarannya. Itulah sebabnya, ditengah arus demokratisasi, paradigma tersebut harus direkonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa kontrol kebijakan.
Paling tidak terdapat tiga model kontrol terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi, penyempurnaan dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaaan tiga metode kontrol tersebut tergantung pada bentuk perumusan dan pelaksanaan kebijakanpemerintah serta pilihan politik yang hendak dibangun.


 KESIMPULAN

Korupsi sebagai sebuak bentuk konsepsi mengalami pemaknaan yang beragam. Mulai pemaknaan yang bersifat etimologis, terminologis, sampai levelisasi korupsi. Sebagai sebuah penyimpangan, korupsi tidak hanya berlangsung pada ranah kekuasaan untuk mencari keuntungan materi juga dalam bentuk penyimpangan kepercayaan  yang ada pada setiap orang. Korupsi bukan hanya milik pemerintah, tapi juga sektor swasta bahkan lembaga pendidikan. Korupsi tidak hanya berlangsung pada level struktural, tapi juga kultural.

 DAFTAR PUSTAKA


Alatas, Syed Husein, korupsi, sebab dan fungsi, jakarta: LP3ES, 1987
Baasir faisal, pembangunan dan krisis, jakarta: pustaka sinar harapan, 2003
Hartati, evi tindak pidana korupsi, jakatra: sinar grafica, 2005 
                 

 




Prinsip-prinsip antikorupsi pada dasarnya merupakan langkah-langkah antisipatif yang harus dilakukan agar laju pergerakan korupsi dapat dibendung bahkan diberantas. Pada dasarnya prinsip-prinsip antikorupsi terkait dengan semua aspek kegiatan public yang menuntut adanya integritas, objektivitas, kejujuran, keterbukaan, tanggung gugat, dan meletakkan kepentingan public di atas kepentingan individu.
Dalam konteks korupsi ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan untuk mencegah terjadinya korupsi, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi, kewajaran (fairness), dan adanya aturan main yang dapat membatasi ruang gerak korupsi serta control terhadap aturan main tersebut.


2.      .AKUNTABILITAS
Prinsip akuntabilitas merupakan pilar penting dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh karena itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk komitmen dan dukungan masyarakat (de facto). Keberadaan undang-undang maupun peraturan secara otomatis mengharuskan adanya akuntabilitas. Dalam hal keuangan Negara pemerintah memliki undang-undang tentang pengelolaan anggaran Negara. Sesuai dengan penjelasan pasal 12 ayat 3 undang-undang tentang keuangan Negara, defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Dalam penyusunan APBD defisit juga tidak boleh melebihi 3 persen dan utang tidak boleh melebihi 60 persen dari PBD.
Sebagai bentuk perwujudan prinsip akuntabilitas, undang-undang keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah merugikan Negara. Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap penganggaran biaya dapat disusun sesuai target atau sasaran.
Agenda-agenda yang harus ditempuh untuk mewujudkan prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara meliputi dua aspek yaitu :

1.)    Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme yang berjalan selama ini adalah bahwa setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat dalam beberapa rangkap yang ditunjukkan kepada penanggungjawab proyek pada lembaga yang bersangkutan dan yang menadai, yakni Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan, yang kemudian ditembuskan kepada komponen-komponen atau lembaga yang melakukan pengawasan.
Melalui prinsip akuntabilitas, maka mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban tidak hanya diajukan kepada segelintir pihak seperti penanggung jawab proyek dan direktorat jendral anggaran departemen keuangan , melainkan kepada semua pihak khususnya kepada lembaga-lembaga control seperti DPR yang membidanginya serta kepada masyarakat. Disamping itu, prinsip akuntabilitas akan menekankan pentingnya proses penganggaran keuangan yang lebih memfokuskan pada produk-produk anggaran yang riil. Demikian juga dengan forum-forum untuk penentuan anggaran dana pembanguna harus dilakukan dengan cara yang mudah sehingga masyarakat memiliki akses untuk forum-forum tersebut jika forum-forum penganggaran biaya pembangunan itu rumit atau terkesan rahasia maka akan menjadi sasaran koru[tor untuk memainkan peran jahatnya dengan maksimal.

2.)    Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini evaluasi hanya terbatas sebagai penilaian dan evaluasi terhadap kinerja administrasi dan proses pelaksanaan seperti diuraikan sebelumnya dan tidak dilakukan. Evaluasi terhadap dampak dan manfaat yang diberikan oleh setiap proyek kepada masyarakat, baik dampak langsung maupun manfaat jangka panjang setelah beberapa tahun proyek itu dilaksanakan. Sector evaluasi merupakan sector yang wajib di akuntabilitasi demi menjaga kredibilitas keuangan yang telah dianggarkan. Ketiadaan evaluasi yang serius akan mengakibatkan tradisi penganggaran keuangan yang buruk.


3.       TRANSPARANSI
Transparansi merupakan prinsip yang menghartuskan semua proses kebijakan  dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh public. Transparansi menjadi pintu masuk, sekaligus konrtol bagi seluruh proses dinamika structural kelembagaan sluruh sector kehidupan public mensyatratkan adanya transparasi, sehingga tidak terjadi distorsi dan penyelewengan yang merugikan masyarakat. Dalam bentuk yang paling sederhana, keterikatan interaksi antar dua individu atau lebih mengharuskan adanya keterbukaan. Keterbukaan dalam konteks ini merupakan bagian dari kejujuran untuk saling menjunjung kepercayaan (trust) yang terbina antar individu.
Dalam konteks pemberantasan korupsi yang melibatkan kekuasaan dan keuangan, ada sektorsektor yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar tidak terjebak dalam lingkartan setan korupsi yang begitu akut dan menyengsarakan  rakyat. Sektorsektor yang harus melibatkan masyarakat adalah sebagai berikut:
Pertama, proses penganggaran yang bersifat dari bawah ke atas (bottom up), mulai dari perencanaan, implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian (evaluasi) terhadap kinerja anggaran, hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan  masyrakatr melakukan control terhadap pengelolaan anggaran.
Kedua, proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan dan anggaran. Hal ini terkait pula dengan proses pembahasan  tentang sumber-sumber pendanaan (anggartan pendapatan) dan alokasi anggaran (anggaran belanja) pada semua tingkatan yang tidak  cukup hanya melibatkan pihak-pihak tertentu.
Ketiga, proses pembahasan tentang  pembuatan rancangan peraturan yang beraturan dengan strategi penggalangan dana pembangunan dlam penetapan retribusi, pajak serta aturan-aturan lain yang berkaitan dengan penganggaran pemerintah.
Keempat, proses pembahasan tentang tata cara dan mekanisme pengelolaan proyek mulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan financial pertanggung jawaban secara teknis dari proyek yang dikerjakan oleh pimpinan proyek atau kontraktor. Proses pengawasan dalam pelaksanam program dan proyek pembangunan yang berkaitan dengan kepentinagn public atau pemenuhan kebutuhan masyarakat dan yang lebih khusus lagi adalah proyek-proyek yang diusulkan oleh masyarakat sendiri.
  Kelima, proses evaluasi terhadap penyelenggaraan proyek yang dilakukan secara terbuka dan bukan hanya pertanggung jawaban secara administratif. Evaluasi harus dilakukan sebagai pertanggung jawaban  secara teknis dan fisik dari seriap out put kerja-kerja pembangunan.
  Untuk memperjelas gambaran peran serta masyarakat dalam proses transparansi kebijakan pembangunan, khusunya yang bersentuhan dengan anggaran tersebut, maka dapat di gambarkan sebagai berikut:

  Dengan demikian, secara teknis yang dapat dikembangkan dalam system penganggaran hingga proses pelaksanaanya adalah adanya transparansi dan keterbukaan kepada public. Salah contoh konkret yang lain adalah dalam hal tender  pelaksanaan proyek, tender ini harus dilakukan secara transparan, lelenag terbuka berdasarkan komitmen bersama antara semua komponen (stakebolder) terkait dengan proyek yang akn dikerjakan. demikian pula dalam hal pengawasan dan control, masyarakat harus mendapat legitimasi dan secara yuridis mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Faktor lain adalah persyaratan jangka waktu teknis dari suatau proyek. Kebanyakan penyimpangan terjadi karena tidak ada ketegasan atau penetapan syarat jangka waktu teknis atau proyek proyek fisik). Sehubungan dengan ini, maka seharusnya bukan hanya aspek ketepatan waktu  penyelesain proyek yang ditetapkan bagi setiap kontraktor, dimana pekerjaan dianggap selesai setelah serah terima hasil (out put) pekerjaan. Akan tetapi harus ada pertanggung jawaban waktu teknis dari setiap output pekerjaan. Misalnya, pertanggung jawaban terhadap kualitas pekerjaan yang telah diselesaikan  (ada garansi hasil pekerjaan  dari kontraktor sebagi jaminan atas kualitas pekerjaan yang diselesaiakan), khususnya untuk proyek-proyek fisik.
  Kurangya transparansi dalam pengelolaan keuangan Negara ini dapat dilihat dari tidak tertatanya adminidtrasi keuangan Negara dengan baik. Hal ini misalnya bias dilihat dari aliran dana tertentu  (non budgeter) yang ada dibeberapa departemen. Dana-dana tersebut biasanya hanya diketahui segelintir orang. Tentu saja semua itu merupakan makanan empuk bagi para pejabat bermental korup. Ketidaktahuan  masyarakat akan dana-dana tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum aparat untuk menikmatinya sesuka hati. Jika saja dana-dana non-bujeter tersebut  - yang tentu saja bisa berasal dari APBN – maka bias dipastikan betapa besar kerugian Negara yang harus ditanggung oleh karenanya, masyarakat harus memiliki akses terhadap pengelolaan keuangan Negara, sehingga ketidaktahuan rakyat akan dana-dana tersebut tidak terulang kembali.
  Transparansi pengelolaan keuangan negara sangat mendesak untuk dilakukan semua itu penting agar lembaga-lembaga control sepeti DPR maupun lembaga control dari lsm mendapatkan kemudahan untuk mengetahui segenap dana-dan yang tidak terdeteksi atau tidak diketahui umum. Oleh karenanya, salah satu bentuk umum dari metode transparansi keuanagn Negara ini adalah diharuskannya pemisahan fungsi kepengurusan pembukuan (book keeping). Rentang kendali seperti ini diharapkan tidak menimbulkan rendahnya control (pengendalian intern), sehingga dapat menimbulkan in-efisiensi dan ketidakefektifan pengelolaan keuangan Negara.
  Proses transparansi di masing-masing Negara berbeda-beda. Di hongkong misalnya, badan yang bertugas mengatasi korupsi diberi wewenang untuk mempelajari dan menelah tata kerja di instansi atau kantor tersebut. Dari teknis tersebut kemudian di buat rekomendasi kepada instansi atua kantor yang bersangkutan tentang bagaimana tata cara kerja yang seharusnya di lakukan supaya tidak terjadi korupsi, atau setidaknya memperkecil kemungkinan tewrjadinya korupsin dengan tata cara yangb di rekomendasikan tersebut. Langakah ini member inisiatif kepad lembaga pengontrol untuk tidak hanya menilai kinerja sebuah lembaga melalui laporan kegiatan dan evaluasi semata. Lembaga komntrol ini secara aktif mengamati secara langsung mekanisme kerja masinh-masing lembaga, sehingga mereka mengetahui proses terjadinya korupsi sekaligus mengambil langkah-langkah penyelesainnya.
4.      FAIRNESS

Fairness merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan kepatuhan atau
Kewajaran. Prinsip fairness saesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bentuk merk up maupun ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumnya, maka dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipuilasi yang penyimpangan baik dalam bentuk anggaran, kebijakan, dan sebagainya.
Berdasarkan kondisi tersebut maka, maka para perumus kebijakan pembangunan menekankan pentingnya prinsip fairness dalam proses penganggaran hingga pelaksanaanya. Prinsip ini merupakan bagian dari tegaknya Good Coorperate Governance (GCG). Munculnya wacana GCG yang salah satunya berprinsipkan fairness (kewajaran) ini dilatarbelakangi oleh terjadinya skandal keuangan secara beruntun yang menerpa perusahaan-perusahaan besar di AS, seperti enron, Qwest Communications, Global crossing, Tyco dan Worldcom. Skandal keuangan tersebut di lakukan oleh para penjahat kelas elit, di mana tindakan mereka ini sering di seburt sebagai kejahatan kerah putih (White collar crime).

        Hyzell croal dalam bukunya White collar crime (kejahatan kerah putih) merumuskan kejahatan kerah putih atau koruptor sebagai kejahatn ornag-orang yang menyukai cara-cara licik. Menipu ,dan jauh dari sifat-sifat fairness. Croall berkata: “white collar crime is defined as the abuse of legimate occupational rol which is regulated by law. Selanjutnya dikatakanya pula the tirm white collar crime with fraud embexxl ment and other offences associated bigh status employess. Apa yang menjadi makna pernyataan croall tersebut adalah bahwa kejahatn yang sellu menggorogoti aset perusahaan dalam jumlah besar ini, umumnya di lakukan dengan cara menipu, menggelapkan, dan cara-cara licik lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak jujur (unfair) dan tidak  menyukai kejujuran (dislike to fairness).

        Untuk menghindari pelanggaran terhadap prinsip fairness, khususnya dalam proses penganggaran, di perlukan beberapa lanhkah sebagai berikut:

        Pertama, komprehensif dan disiplin yang berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek, berkesinambungan, taat asas, prinsip pembebanan, pengeluaran, dan tidak melampaui batas (off budget). Asas ini di maksudkan agar anggaran bias di manffatkan secara sewajarnya.

        Kedua,fleksibilitas yaitu adanya diskresi tertentu  dalam konteks efisiensi dan efektibilitas (prinsip tak tersangka, perubahan, pergeseran, dan dio sentralisasi manajemen).

        Ketiga, terprediksi, yaitu ketetapan perencanaan atasa dasar asas value vor money dan menghindari defisit dalam trahun anggaran berjalan. Anggaran yang terprediksi merupakan cerminan dari adanya prinsip fairness di dalam proses pembangunan. Sudah menjadi kewajaran manakala anggaran pembangunan ini sebisa mungkin menghindari deficit. Pada waktu-waktu lalu, terjadinya deficit sering di akibatkan oleh tingkah polah koruptor yang sengaja mengeruk-ngeruk anggaran pembangunan yang sudah pasti. Akibatnya pemerintah harus membayar kerugian-kerugian defisat tersebut.
Keempat, kejujuran, yaitu adanya bias perkiraan penerimaan maupun pengeluaraan yang di sengaja, yang berasal dari pertimbangan teknis maupun politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari prinsip fairness. Dengan kejujuran, maka segala hal yang bersangkuran dengan pembangunan, baik mulai dari proses penganggaran hingga pelaksanaanya harus sesuai dengan apa yang di tetapkan. Tidak lagi terjadi nantinya bahwa ap yang menjadi kenyataan di lapangan berbeda dengan apa yang telah di rumuskan. Semuanya harus wajar, harus jujur, dan berjalan dengan seperti apa yang di rencanakan dan di tetapkan.

        Kelima, informative, yakni perlu system informasi pelaporan yang teratur dan informative sebagai dasar penilaian kinerja, kejujuran dan proses pengembalian keputusan. Sifat informatif merupakan cirri khas dari kejujuran. Pemerintah yang informatif dan membantu kerja-kerja lembaga control seperti DPR, LSM maupun masyarakat secara langsung, berarti merupakan pemerintah yang telah bersikap wajar dan jujur dan tidak menutup-nutupi apa yang memang harus di sampaikan.

        Prinsip fairness akan teraktualisasi secara signifikan apabila didukung oleh prinsip meritokrasi, yaitu sebuah system yang menekankan pada kualitas, kompetensi, dan prestasi seseorang selama ini, prinsip meritokrasi terabaikan oleh adanya ikatan-ikatan primordial yang di dukung oleh kekuasaan yang birokratis-sentralistik, sehingga memancing timbulnya tindakan-tindakan yang menyimpang dari prinsip-prinsip kewajaran.

        Dengan demikian, prinsip fairness bertujuan mencegah menjalarnya praktekpraktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun penyimpangan dalam segala level kehidupan. di samping itu, fairness dapat menggiring setiap proses pembangunan khususnya yang berkaitan dengan penganggaran berjalan secara wajar, jujur, dan sesuai dengan prosedur yang telah di sepakati bersama pemerintah dan rakyat.




5.      KEBIJAKAN ANTIKORUPSI

Kebijakan merupakan sebuah usaha mengatur tata interaksi dalam ranah sosial. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbangsa telah memaksa setiap Negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Beberapa Negara membuat aturan main anti korupsi yang mempersempit ruang gerak perilaku korupsi. Kebijakan tersebut tidak selalu identik dengan undang-undang anti korupsi, namu bias berupa undang-undang  kebebasan mengakses informasi, undang-undang di sentralisasi, undang-undang anti monopoli, mauoun yang lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol kinerja dan penggunaan anggaran Negara oleh para pejabat Negara.

Signifikan kebijakan anti korupsi terletak padsa asumsi bahwa hokum atau penegakan hokum di yakini sebagai cara efektif untuk mengendalikan naluri berbuat korupsi. Korupsi bagian dari nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang dapat di kendalikan dan di control oleh peraturan atau undang-undang langkah ini merupakan subsistem dari keseluruhan sistem kehidupan sebuah Negara yang merangkul sekaligus menat beragam kepentigan, demi terciptanya sebuah kenegaraan yang harmonis.


Kebijakan antikorupsi dapat di lihat dalam beberapa perspektif:
Pertama,isi kebijakan. Komponen penting dari sebuah kebijakan adalah konten atau isi dari kebijakan tersebut. Dengan kata lain, kebijakan anti-korupsi menjadi efektif apabila di dalamnya terkandung unsure-unsur yang terkait dengan persoalan korupsi sebagai focus dari kegiatanm tersebut. Paling tidak, di dalamnya terkandung unsure-unsur yang secara teoretis dapat menjawab persoalan yang hendak di atur dalam kebijakan antikorupsi.

Kedua, pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak bias dilepaskan dari para pembuat kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan merupakan cermin dari kualitas dan integritas pembuatnya. Sekaligus akan menentukan kualitas isi kebijakan tersebut. Apabila pembuat kebijakan antikorupsi adalah mereka yang tidak memahami duduk masalah korupsi atau justru mereka menjadi bagian dari carut marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat menjadi control dan memberikan jalan dari tindakn korupsi, justru tindakan tersebut bias menjadi bumerang bagi pemberantasan korupsi.
Ketiga, penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di buat dapat berfungsi apabila di dukung oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu sendiri. Penegak kebijakan dalm struktur kenegaraan modern terdiri dari kepolisian, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. Apabila penegak kebijakan tidak memiliki komitmen untuk meletakkanya sebagai aturan yang mengikat bagi semua, termasuk bagi dirinya, maka sebuah kebijakan hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang justru melahirkan kesenjangan, Ketidakadilan, dan bentuk penyimpangan lainya.

Keempat, kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah kebijakan terkait dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hokum undang-undang anti korupsi. Lebih jauh kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi  masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Keempat hal tersebut akan menentukan efektifitas pelaksanaan dan fungsi sebuah kebijakan. Dalam konteks kebijakan antikorupsi, maka keempat komponen tersebut akan berpengaruh terhadap efektifitas pemberantasan korupsi melalui kebijakan yang ada.

Namun, sebagai produk politik, sebuah kebijakan seringkali tidak berfungsi secara maksimal baik karena adanya intervensi kekuasaan maupun  karena tidak di potong oleh sistem maupun budaya masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi yang seharusnya bias efektif melalui peraturan tidak berjalan secara normal. hal ini bias di lihat dari sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang belum mampu menghasilkan kerja maksimal di bandingkan dengan keberadaan undang-undang atau peraturan antikorupsi yang sudah ada sejak lama. Bahkan sebagai Negara asia yang memiliki undang-undang antikorupsi, Indonesia jusdtru berada di tingkat yang sangat rendah dalam peringkat Negara-negara yang bebas dari korupsi.


6.      CONTROL KEBIJAKAN
Mengapa perlu control kebijakan ? jawaban yang pasti atas pertanyaan ini adalah karena tradisi pembangunan yang di anut selama ini lebih bersifat sentralistik. Menurut David Korten  lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan di ansumsikan dari pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi, peran, dan kewenangan pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah paling mengetahui seluk beluk kehidupan masyarakat di negaranya. Itulah sebabnya, di tengah arus demokratisasi, paradigma tersebut harus di rekonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa control kebijakan.
Tradisi control kebijakan ini memeiliki perbedaan di berbagai Negara di dunia. Negara dengan basis sistem politik dan sistem pengawasan kebijakan yang lemah semisal di Negara-negara berkembang, lebih rentan bagi tumbuh suburnya korupsi dari pada di Negara- Negara modern yang memiliki sistem politik serta control yang relatif kuat. Control sosial dan control lembaga pada Negara-negara berkembang dan terbelakang relatif masih lemah, sehingga tidak mempu membendung perilaku aparat pemerintah dalam melakukan tindakan  penyimpoangan dan penyelewengan.
Kenyataan tersebut menunjukkan adanya peran pemerintyah yang begitu kuat (exevutive beavy), sehingga memaksa semua pihak berada dalam kendalanya tanpa reserve. Masalah ini m,enjadi semakin kompleks ketika persoalan mentalitas di kalangan aparat pemerintah lebih menonjolkan kepentinganya masing-masing. Konsekuensinya, pembangunan tidak hanya menjadi kaku dalam pelaksanaanya, tetapi sering memihak pada kelompok ekonomi dan sosial yang kuat. Memihak pada kelompok yang kuat akan lebih menjanjikan imbalan materi bagi aparat pelaksana proyek dari pada memihak pada kelompok yang lemah.
Dari perspektif di atas, hubungan kolusi antara penguasa dan pengusaha acapkali terjadi dalam bingkai terlalu dominannya kekuasaan yang tidak di imbangi oleh pengawasan dan control kebijakan. Tidak adanya pengawasan dan kebijakan terhadap pemerintah menyebabkan pemerintah sering kali mengambil kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak orang.  Control kebijakan merupakan salah satu cara yang jitu untuk memberantas atau minimal mengurangi tindakn korupsi yang  merajalela.
Terbentuknya lembaga atau forum-forum yang peduli terhadap masalah- masalah penganggaran merupakan embrio bagi tumbuh dan berkembangya gerakan rakyat untuk melakukan control dan pengawasan kepada pemerintah. Pada saat kesadaran masyarakat yang kian bangkit itu, maka langkah-langkah yang  dan konkret dari setiap lembaga di harapkan mengembalikan tiga strategi pokok yang saling terkait yaitu: analisis kebijakan, advokasi, dan pemberdayaan komunitas local. Semuanya mengarah pada upaya menciptakn proses-proses penganggaran yang transparan untuk kepentingan masyarakat local dan daerah.
Paling tidak terdapat tiga model control terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi, penyempurnaan, dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaan tioga model control tersebut tergantung pada bentuik rumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah serta  pilihan politik yang hendak di bangun. Namun, substansi dari ketiga model itu adalah keterlibatan masyarakat dalam mengontrol kebijakan Negara. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip penganggaran dan pengelolaan keuangan Negara, yakni tertib waktu dan administrasi, taat perundang-undangan,  transparan, akuntabilitas, alokasi dan distribusi, stabilitas dan kepatuhan seta keadilan, maka keterlibatan rakyat menjadi sangat strategis. Keterlibatan rakyat dalam proses penganggaran tidak hanya pada tahap perencanaan atau program hingga proyek, tetapi juga pada saat pembahasan dan pengalokasian anggaran. Lebih jauh lagi rakyat juga harus terlibat ketika anggaran itu di kelola di lapangan, pada saat di turunkan dalam bentuk proyek baik kegiatan yang berbentuk fisik maupun non-fisik. Peran dan keterlibatan rakyat dalam melakukan pengawasan dan control pada saat implementasi sangat penting untuk menghindari adanya penyelewengan dan penyimpangan anggaran. Termasuk pula dalam hal evaluasi dan penelitian kinerja anggaran, rakyat atau masyarakat tetap harus ikut bertanggung jawab untuk melakukannya sebagai bahan dalam menyusun rencana kegiatan atau program selanjutnya.
Secara lebih focus, yang menjadi sasaran pengawasan dan control public dalam proses pengewloolaan anggaran Negara adalah: pertama, berkaitan dengan konsistensi dalam perencanaan program atau kegiatan. Dan kedua, berkaitan denghan pelaksanaan penganggaran itu sendiri.
Melalui focus atau sasaran pertama, program program kegiatan atau proyek yang di tetapkan DPR/DPRD bersama dengan pemerintah (presiden, gubernur, dan bupati) harus sesuai denghan yang di usulkan oleh rakyat dan sesuai puila dengan kegiatan proyek/program yang telah disosialisasikan kepada rakyat.
Sementara melalui focus dan sasaran yang kedua, dimaksudkan agar masyarakat secara intensif melakukan control dan pengawasan terhadap sector-sektro yang meliputi:
1.      Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti pajak dan retribusi, penjualan migas dan sumber-sumber lain yang di kelolah oleh pemerintah.
2.      Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran Negara seperti proses penepatan pajak retribusi dan penetapannya, dana perimbangan (pusat dan daerah), penetapan pinjaman luar negeri dan pengolalanya dalam penganggaran.
3.      Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan proyak yang di sampaikan oleh kontraktor atau pemimpin proyek, baik secara administrasi maupun kualitas pekerjaan secara fisik.
4.      Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya dibatasi pada aspek ketepatan dalam penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap selesai setelah serah terima hasil (out put) pekerjaan, tetapi harus ada pertanggung jawaban teknis terhadap kualitas setiap pekerjaan yang telah dikerjakan , terutama proyek-proyek fisik.

Dengan demikian, control terhadap kebijakan mulai proses pembuatan sampai pelaksanaan dan dampat yang di hasilkan dapat dievaluasi dan terus di sempurnakan. Lebih dari itu, seluruh rangkaian kebiojakan tersebut dapat menutup peluang bagi berseminya korupsi.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN

Korupsi sebagai sebuah konsepsi mengalami pemaknaan yang beragam. Mulai pemaknaan yang bersifat etimologis, terminologis, sampai levelisasi korupsi. Sebagai sebuah penyimpangan, korupsi tidak hanya berlangsung pada ranah kekuasaan untuk mencari keuntungan materi, namu juga dalam bentuk penyimpangan kepercayaan (betrayal of trust) yang ada pada setiap orang. Korupsi bukan hanya milik pejabat pemerintah, tapi juga sector swasta bahkan lembaga pendidikan. Korupsi tidak hanya berlangsung pada level structural, tapi juga cultural.

Korupsi dapat menjadi ancaman yang sangat serius ketika ia berlangsung pada ranah structural yang melibatkan kekuasaan dan mencari keuntungan material. Pada titik ini korupsi tidak hanya merugikan keuangan, api menyelewengkan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun orang terdekat. Kenyataan ini akan merusak tatanan sosial kemasyarakatan maupun eksistensi sebuah lembaga, bahkan eksistensi Negara bangsa.