BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Menurut
bahasa, kata aqidah berasal dari bahasa Arab yaitu [عَقَدَ-يَعْقِدُ-عَقْدً] artinya adalah mengikat
atau mengadakan perjanjian. Sedangkan Aqidah menurut istilah adalah
urusan-urusan yang harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa
puas serta terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan
oleh badai subhat (keragu-raguan). Dalam definisi yang lain
disebutkan bahwa aqidah adalah sesuatu yang mengharapkan hati membenarkannya,
yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan
yang bersih dari kebimbangan dan keraguan. Berdasarkan
pengertian-pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa aqidah adalah
dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber
dari ajaran Islam yang wajib dipegangi oleh setiap muslim sebagai sumber
keyakinan yang mengikat. Sementara kata “akhlak” juga berasal dari bahasa
Arab, yaitu [خلق] jamaknya [أخلاق] yang artinya tingkah laku,
perangai tabi’at, watak, moral atau budi pekerti. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlak dapat
diartikan budi pekerti, kelakuan. Jadi, akhlak merupakan sikap yang telah
melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah
laku atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal
dan agama, maka disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah,
atau akhlak mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu
berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela
atau akhlakul madzmumah.
II.
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui akhlak kita
sebagai manusia dalam bertingkah laku kepada Allah, Rasulullah, dan kepada
binatang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akhlak
kepada Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan
sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Dan sebagai titik tolak akhlak kepada
Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia
memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, jangankan manusia,
malaikat pun tidak akan mampu menjangkaunya (Quraish Shihab).
Alasan mengapa manusia perlu beakhlak kepada Allah:
Allah-lah yang mencipatakan manusia. Dia yang menciptakan manusia
dari air yang ditumpahkan keluar dari tulang punggung dan tulang rusuk hal ini
sebagai mana di firmankan oleh Allah dalam surat at-Thariq ayat 5-7. sebagai berikut
:
فلينظرالانسان مم خلق خلق من ماء دافق يخرج من بين الصلب والترائب
)الطار ق : 0-٧(
Artinya :
Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?,
Dia tercipta dari air yang
terpancar,
yang terpancar dari tulang sulbi dan
tulang dada. (At-Tariq:5-7)
B.
Akhlak
Kepada Rasul
Disamping akhlak kepada Allah Swt,
sebagai muslim kita juga harus berakhlak kepada Rasulullah Saw, meskipun beliau
sudah wafat dan kita tidak berjumpa dengannya, namun keimanan kita kepadanya
membuat kita harus berakhlak baik kepadanya, sebagaimana keimanan kita kepada
Allah Swt membuat kita harus berakhlak baik kepada-Nya. Meskipun demikian,
akhlak baik kepada Rasul pada masa sekarang tidak bisa kita wujudkan dalam
bentuk lahiriyah atau jasmaniyah secara langsung sebagaimana para sahabat telah
melakukannya. Berikut ini penulis memberikan gambaran tentang macam-macam
Akhlak kepada Rasul.
1.
Ridha
Dalam Beriman Kepada Rasul
Iman kepada Rasul Saw merupakan salah satu bagian dari rukun iman.
Keimanan akan terasa menjadi nikmat dan lezat manakala kita memiliki rasa ridha
dalam keimanan sehingga membuktikan konsekuensi iman merupakan sesuatu yang
menjadi kebutuhan. Karenanya membuktikan keimanan dengan amal yang shaleh
merupakan bukan suatu beban yang memberatkan, begitulah memang bila sudah
ridha. Ridha dalam beriman kepada Rasul inilah sesuatu yang harus kita nyatakan
sebagaimana hadits Nabi Saw:
Aku
ridha kepada Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi
dan Rasul (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).
2.
Mencintai
dan Memuliakan Rasul
Keharusan yang harus kita tunjukkan dalam akhlak yang baik kepada
Rasul adalah mencintai beliau setelah kecintaan kita kepada Allah Swt.
Penegasan bahwa urutan kecintaan kepada Rasul setelah kecintaan kepada Allah
disebutkan dalam firman Allah yang artinya:
Katakanlah,
jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, keluarga, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dasn (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik (QS 9:24).
Disamping
itu, manakala seseorang yang telah mengaku beriman tapi lebih mencintai yang
lain selain Allah dan Rasul-Nya, maka Rasulullah Saw tidak mau mengakuinya
sebagai orang yang beriman, beliau bersabda:
Tidak
beriman seseorang diantara kamu sebelum aku lebih dicintainya daripada dirinya
sendiri, orang tuanya, anaknya dan semua manusia (HR. Bukhari, Muslim dan
Nasa’i).
3.
Mengikuti
dan Mentaati Rasul
Mengikuti dan mentaati Rasul merupakan sesuatu yang bersifat mutlak
bagi orang-orang yang beriman. Karena itu, hal ini menjadi salah satu bagian
penting dari akhlak kepada Rasul, bahkan Allah Swt akan menempatkan orang yang
mentaati Allah dan Rasul ke dalam derajat yang tinggi dan mulia, hal ini
terdapat dalam firman Allah yang artinya: Dan barangsiapa yang mentaati Allah
dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, orang-orang yang benar, orang-orang yang
mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya
(QS 4:69).
Disamping
itu, manakala kita telah mengikuti dan mentaati Rasul Saw, Allah Swt akan
mencintai kita yang membuat kita begitu mudah mendapatkan ampunan dari Allah
manakala kita melakukan kesalahan, Allah berfirman yang artinya: Katakanlah:
“jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan
mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (QS 3:31)
Oleh
karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah Saw diutus memang untuk ditaati,
Allah Swt berfirman yang artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul,
melainkan untuk ditaati dengan izin Allah (QS 4:64).
Manakala
manusia telah menunjukkan akhlaknya yang mulia kepada Rasul dengan mentaatinya,
maka ketaatan itu berarti telah disamakan dengan ketaatan kepada Allah Swt.
Dengan demikian, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi seperti dua sisi
mata uang yang tidak boleh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Allah berfirman
yang artinya: Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka (QS 4:80).
4.
Mengucapkan
Shawalat dan Salam Kepada Rasul
Secara harfiyah, shalawat berasal dari kata ash shalah yang berarti
do’a, istighfar dan rahmah. Kalau Allah bershalawat kepada Nabi, itu berarti
Allah memberi ampunan dan rahmat kepada Nabi, inilah salah satu makna dari
firman Allah yang artinya: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
Ucapkanlah salam penghormatan kepadanya (QS 33:56).
Adapun,
bila kita bershalawat kepada Nabi hal itu justeru akan membawa keberuntungan
bagi kita sendiri, hal ini disabdakan oleh Rasul Saw:
Barangsiapa
bershalawat untukku satu kali, maka dengan shalawatnya itu Allah akan
bershalawat kepadanya sepuluh kali (HR. Ahmad).
Manakala
seseorang telah menunjukkan akhlaknya kepada Nabi dengan banyak mengucapkan
shalawat, maka orang tersebut akan dinyatakan oleh Rasul Saw sebagai orang yang
paling utama kepadanya pada hari kiamat, beliau bersabda:
Sesungguhnya
orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat adalah siapa yang
paling banyak bershalawat kepadaku (HR. Tirmidzi).
Adapun
orang yang tidak mau bershalawat kepada Rasul dianggap sebagai orang yang kikir
atau bakhil, hal ini dinyatakan oleh Rasul Saw:
Yang
benar-benar bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku dihadapannya, ia
tidak mengucapkan shalawat kepadaku (HR. Tirmidzi dan Ahmad).
5.
Menghidupkan
Sunnah Rasul
Kepada
umatnya, Rasulullah Saw tidak mewariskan harta yang banyak, tapi yang beliau
wariskan adalah Al-Qur’an dan sunnah, karena itu kaum muslimin yang berakhlak
baik kepadanya akan selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah (hadits)
agar tidak sesat, beliau bersabda:
Aku tinggalkan kepadamu dua pusaka, kamu tidak akan
tersesat selamanya bila berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan
sunnahku (HR. Hakim).
Selain
itu, Rasul Saw juga mengingatkan umatnya agar waspada terhadap bid’ah dengan
segala bahayanya, beliau bersabda:
Sesungguhnya,
siapa yang hidup sesudahku, akan terjadi banyak pertentangan. Oleh karena itu,.
Kamu semua agar berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para penggantiku.
Berpegang teguhlah kepada petunjuk-petunjuk tersebut dan waspadalah kamu kepada
sesuatu yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu
sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah,
Hakim, Baihaki dan Tirmidzi).
Dengan
demikian, menghidupkan sunnah Rasul menjadi sesuatu yang amat penting sehingga
begitu ditekankan oleh Rasulullah Saw.
6.
Menghormati
Pewaris Rasul
Berakhlak
baik kepada Rasul Saw juga berarti harus menghormati para pewarisnya, yakni
para ulama yang konsisten dalam berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam, yakni
yang takut kepada Allah Swt dengan sebab ilmu yang dimilikinya.
Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS 35:28).
Kedudukan
ulama sebagai pewaris Nabi dinyatakan oleh Rasulullah Saw:
Dan
sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi. Sesungguhnya Nabi tidak tidak
mewariskan uang dinar atau dirham, sesungguhnya Nabi hanya mewariskan ilmui kepada
mereka, maka barangsiapa yang telah mendapatkannya berarti telah mengambil
mbagian yang besar (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Karena
ulama disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama seharusnya tidak
hanya memahami tentang seluk beluk agama Islam, tapi juga memiliki sikap dan
kepribadian sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi dan ulama seperti
inilah yang harus kita hormati. Adapun orang yang dianggap ulama karena
pengetahuan agamanya yang luas, tapi tidak mencerminkan pribadi Nabi, maka orang
seperti itu bukanlah ulama yang berarti tidak ada kewajiban kita untuk
menghormatinya.
7.
Melanjutkan
Misi Rasul
Misi Rasul adalah menyebarluaskan dan menegakkan nilai-nilai Islam.
Tugas yang mulia ini harus dilanjutkan oleh kaum muslimin, karena Rasul telah
wafat dan Allah tidak akan mengutus lagi seorang Rasul. Meskipun demikian,
menyampaikan nilai-nilai harus dengan kehati-hatian agar kita tidak
menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dari Rasulullah Saw. Keharusan
kita melanjutkan misi Rasul ini ditegaskan oleh Rasul Saw:
Sampaikanlah
dariku walau hanya satu ayat, dan berceritalah tentang Bani Israil tidak ada
larangan. Barangsiapa berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia
mempersiapkan tempat duduknya di neraka (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi dari
Ibnu Umar).
Demikian
beberapa hal yang harus kita tunjukkan agar kita termasuk orang yang memiliki
akhlak yang baik kepada Nabi Muhammad Saw.
C.
Akhlak
kepada sesama manusia
1.
Akhlak terhadap Orang tua
Peranan orang tua dalam
kehidupan seorang anak
Tidak dapat
dipungkiri, bahwa manusia lahir ke dunia ini adalah melalui ibu-bapak.Susah dan
payah dialami oleh ibu dan bapak untuk memelihara anaknya, baik ketika masih
dalam kandungan, maupun setelah lahir ke dunia.Pertama-tama ibu harus mengandung
kita selama kurang lebih 9 bulan.Selama dalam kandungan, ibu menanggung
kepayahan, keletikan dan kesakitan. Ibu-bapak kita benar-benar berjasa, dan jasanya tidak bias dibeli
sama sekali dan tak dapat diukur oleh apapun juga. Merekalah yang mengusahakan
agar kita dapat makan dan membelikan pakaian untuk kita. Selanjutnya kita
dimasukkan ke lembaga pendidikan, mulai dari sekolah pendidikan dasar sampai
menengah dan mungkin sampai ke perguruan tinggi, agar kita berakhlak baik,
teguh mengamalkan ajaran-ajaran agama dan mempunyai masa depan yang gemilang.
2.
Akhlak terhadap Saudara
Peranan Saudara
dalam kehidupan sehari-hari
Peranan saudara
dalam kehidupan kita sangatlah penting, karena pada dasarnya kita adalah
makhluk sosial yang senantiasa saling bantu-membantu dalam menempuh
kehidupannya, terutama saudaranya yang terdekat.
Oleh karena
itu, saudara masih ada hubungan darah dengan kita, maka merekalah yang paling
pertama kita minta bantuannya.Lebih-lebih bila kita sedang mendapat musibah
atau bencana lainnya, misalnya sakit, kecurian dan sebagainya. Karena itu,
hubungan antara saudara dengan saudara haruslah dipelihara dengan
sebaik-baiknya, jangan sampai retak, jangan sampai timbul hal-hal yang
menyebabkan tali silaturahmi terputus, apalagi kalau sampai timbul perpecahan
atau permusuhan dan percekcokan satu sama lain.
3.
Akhlak
terhadap Tetangga
Kita hidup ditengah-tengah
masyarakat, laksana ikan dengan air.Harus saling menghidupi dan menjernihkan.
Tidak boleh sombong kepada orang lain, terutama dengan kerabat dan tetangga.
Mereka ini adalah saudara kita yang paling dekat dan cepat menolong dikala kita
mendapat musibah atau malapetaka.Meskipun mempunyai family sekian banyak dan
terkemuka, tetapi tak mustahil tempat tinggalnya berjauhan.
Oleh
karena itu, dikala kita mendapat musibah seperti sakit, meninggal dunia, atau
kesusahan-kesusahan lainnya, maka yang paling duluan tampil datang adalah
tetangga kita.Karena itu berlakulah kepadanya secara baik menurut tuntunan
agama.
Akhlak
terhadap Sesama Muslim
Diantara sesama muslim yang lain
adalah bersaudara. Oleh sebab itu, kita harus bersikap baik terhadap sesama
muslim. Mereka itu bagaikan satu anggota badan, bilamana yang satu sakit atau
ditimpa musibah, maka yang lain ikut merasakannya. Misalnya, kalau gigi seorang
sakit, maka anggota badan yang lainnya ikut pula merasakannya. Demikian pula
umat Islam, kalau ada salah seorang dari umat Islam ditimpa malapetaka, maka
yang lain harus ikut merasakannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
bergotong royong dalam meringankan bebannya.
4.
Akhlak
terhadap Kaum Lemah
Kaum lemah adalah orang-orang yang
belum memiliki kemampuan dalam segala hal atau bidang tertentu.Tidak memiliki
kemampuan ini biasanya menjadi penghambat untuk mencapai keinginannya (cita-citanya).Sebagai
contoh yang termasuk orang-orang lemah misalnya, orang bodoh (tak berilmu
pengetahuan), orang miskin (tak berharta), dan sebagainya. Ajaran Islam telah
menegaskan, bahwa siapa yang menolong orang lemah, niscaya Allah akan memberikan
pertolongan. Sebaliknya mereka yang tidak mau menolong kaum lemah, niscaya
Allah tidak menyukainya. Pertolongan itu tidaklah hanya dilakukan terhadap
sesama pemeluk agama Islam belaka, tetapi setiap pemeluk agama Islam harus pula
melakukan pertolongan kepada sesama umat manusia, sekali pun lain
agama.Bukankah agama Islam memerintahkan agar kita tetap berbakti kepada orang
tua, sekali pun kedua-duanya berlainan agama dengan kita, juga memerintahkan
kepada kita agar tetap berbuat baik kepada tetangga, sekali pun mereka itu
orang-orang yang musyrik.Demikian pula terhadap seluruh umat manusia, baik
Islam maupun bukan, kita harus selalu berakhlak baik kepada mereka, harus
berkata dengan perkataan yang bagus dan harus memperlakukan mereka dengan
layak.
D.
Akhlak kepada binatang
1.
Memelihara dan Menyantuni Binatang
Allah
Swt. menciptakan binatang untuk kepentingan manusia dan juga menunjukkan
kekuasaan-Nya, sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Q.S. al-Nur[24]: 45, yang
terjemahnya:
“Dan
Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari hewan
itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki
sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa
yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Betapa banyaknya binatang telah
dimanfaatkan oleh manusia, ada yang dimanfaatkan tenaganya, air susunya,
madunya, dagingnya dan sebagianya. Oleh sebab itu, tepatlah apabila kita
disuruh untuk memlihara dan menyayangi binatang tersebut sampai-sampai apabila
hendak menyembelih binatang ternak kita disuruh untuk menggunakan pisau yang
sangat tajam supaya binatang ternak itu tidak lama mersakana sakitnya.
Akhlak
ini terbagi menjadi dua pengertian:
Syafaqah
Yaitu perasaan halus dan rasa belas kasih untuk berbuat baik kepada sesama makhluk Allah Swt. Sesungguhnya tiap-tiap pertolongan seseorang terhadap hewan yang berjiwa itu dapat pahala, walaupun ia seekor anjing yang hina. Jika kita menunggangi kuda atau binatang lainnya, kita wajib memberinya hak istirahat dan dilarang menyiksanya. Dalam menyembelih binatang kita diperintahkan untuk menajamkan pisaunya. Jika ada binatang yang berbahaya maka jika ingin dibunuh maka harus langsung dibunuh tidak boleh disiksa.
Yaitu perasaan halus dan rasa belas kasih untuk berbuat baik kepada sesama makhluk Allah Swt. Sesungguhnya tiap-tiap pertolongan seseorang terhadap hewan yang berjiwa itu dapat pahala, walaupun ia seekor anjing yang hina. Jika kita menunggangi kuda atau binatang lainnya, kita wajib memberinya hak istirahat dan dilarang menyiksanya. Dalam menyembelih binatang kita diperintahkan untuk menajamkan pisaunya. Jika ada binatang yang berbahaya maka jika ingin dibunuh maka harus langsung dibunuh tidak boleh disiksa.
a).
Himayah (Pemeliharaan
Allah Swt. tidak melarang untuk
memelihara binatang untuk memperoleh manfaatnya. Allah Swt. menerangkan dalam
al-Quran bahwa hewan-hewan itu dijadikan-Nya untuk menjadi kesenangan dan
i’tibar bagi manusia
b).
Akhlak Islam Pada Binatang
Rasulallah Saw. bersabda: “Ya Abu
Hurairah, sayangilah semua makhluk Allah, maka Allah akan menyayangimu dan
menjagamu dari neraka pada hari kiamat” Aku bertanya, “Ya Rasulallah, aku
pernah menyelamatkan seekor lalat yang jatuh ke air”. Jawab Rasulallah, “Allah
mencintaimu. Allah mencintaimu. Allah mencintaimu”. (Nasihat Rasulullah Saw.
pada Abu Hurairah).
Suatu hari, Rasulallah Saw. berkisah
kepada para sahabat yang tengah bukumpul. Ia mengisahkan tentang seorang
laki-laki dari kalangan Bani Israil tengah berjalan di bawah terik matahari,
dengan rasa-rasa haus yang amat sangat. Ketika ia melihat ada sebuah sumur,
maka ia segera turun dan mengambil airnya untuk diminum. Setelah hausnya
terpuaskan dan laki-laki itu hendak meninggalkan tempat itu, ia melihat seekor
anjing yang sedang kehausan. Anjing ini menjilat-jilat pasir karena hausnya.
Dalam hatinya, laki-laki ini mengatakan,”Anjing ini menderita kehausan,
sebagaimana aku”. Akhirnya, ia kembali turun ke sumur dan memenuhi sepatu
kulitnya dengan air, dan
diberikanlah
kepada binatang malang itu. Rasulullah Saw. setelah membawakan kisah ini
bersabda, “Maka Allah memujinya dan mengampuninya”.
Mendengar
kisah tersebut, para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah benar-benar
kami memperoleh pahala karena binatang?” Rasulullah pun menjawab, ”Di setiap
hati yang lembab ada shadaqah.”
‘Hati
yang lembab’ adalah perumpamaan terhadap makhluk hidup apapun. Makhluk yang
mati, hati dan badannya mengering. Sebab itulah, Imam An Nawawi menyimpulkan
dari kisah di atas bahwa berbuat baik kepada binatang hidup, baik memberi minum
atau lainnya merupakan sebuah bentuk shadaqah. Jelas, dari keterangan di atas,
Islam amat memuliakan binatang. Memenuhi kebutuhan binatang pula dihitung
sebagai sebuah shadaqah, sebagaimana juga memberi kepada manusia, karena
kedua-duanya ‘berhati lembab’. Hal yang sama disebutkan Rasulullah, “Seorang
Muslim tidak menanam tanaman, hingga memakan dari tanaman itu manusia, binatang
atau burung, kecuali merupakan shadaqah baginya, hingga datang hari kiamat”. (Riwayat
Muslim).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Aqidah menurut istilah adalah urusan-urusan
yang harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa puas serta
terhujam kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan oleh
badai subhat (keragu-raguan). Dalam definisi yang lain disebutkan
bahwa aqidah adalah sesuatu yang mengharapkan hati membenarkannya, yang
membuat jiwa tenang tentram kepadanya dan yang menjadi kepercayaan
yang bersih dari kebimbangan dan keraguan.
Jadi, akhlak merupakan sikap yang telah melekat pada
diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku
atau perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal
dan agama, maka disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah, atau akhlak
mahmudah. Akan tetapi apabila tindakan spontan itu
berupa perbuatan-perbuatan yang jelek, maka disebut akhlak tercela
atau akhlakul madzmumah.